Kian tergerus, peternak unggas mandiri ingin penguasaan pasar kembali 50%

Jum'at, 28 April 2017 | 13:56 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Tanpa segmentasi dan penguasaan pasar yang berkeadilan, keberadaan peternak unggas broiler mandiri makin tergerus oleh perusahaan integrator.

Hasil identifikasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, peternak ayam yang mandiri hanya tinggal 3% saja. Selebihnya, sudah bergabung menjadi peternak unggas plasma atau terafiliasi perusahaan.

Ketua Umum Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Dudung Rahmat kepada kabarbisnis.com di Jakarta, Jumat (28/4/2017) mengatakan, skala usaha peternak unggas akan mampu bertahan apabila pemerintah memberikan porsi pasar menjadi 50%. Adapun menurut Data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, perusahaan integrator menguasai pasar ayam pedaging hingga 80%, sementara sisanya 20%.

UU No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang meliberalisasi segmen budidaya ayam broiler menjadi legalitas perusahaan integrator memarginalkan usaha peternakan ayam mandiri.Peternak unggas mandiri kesulitan mengukur skala usaha karena pasar yang dituju adalah sama,padahal perhitungan biaya pokok produksinya berbeda.

"Peternak mandiri harus menjual harga ayam di kandang diatas Rp 17.500 per kilogram karena angka tersebut merupakan titik impas kita. Sementara peternak plasma  apabila menjual ayam seharga Rp 14.000 per kilogram tidak dapat dikatakan rugi karena mereka memperoleh harga daily old Chick (DOC) atau ayam tetas sehari juga dapat lebih murah," terangnya.

Dudung melihat penataan pasar akan berjalan optimal apabila porsi skala usaha peternak unggas mandiri diperbesar. "Kita tidak meminta muluk-muluk. Cukup pangsa pasarnya diperbesar menjadi 50% dari saat ini yang mencapai 80%,"kata Dudung.

Caranya, segmentasi pasar bagi peternak plasma dan perusahaan integrator diperjelas. Misalnya, menjualnya dalam bentuk olahan, ekspor ataupun hotel, restoran dan katering (horeka).

Menurutnya pasar horeka terus bertumbuh. Sementara, peternak unggas mandiri cukup bermain di pasar tradisional. Pemilahan pasar yang berkeadilan ini diyakini akan menguatkan struktur usaha peternak mandiri.

"Sekarang memelihara ayam broiler sebesar 15.000 ekor tidak akan survive. Minimal, dikatakan efisien dengan memelihara ayam ras minimal 25.000 ekor," tegasnya.

Ketua Bidang Hukum Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Nano Supriatna menilai Permentan No 61 Tahun 2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras diragukan efektifitasnya dilapangan.Harga jual ayam yang tidak lagi menguntungkan yang disebabkan ketidakseimbangan pasar.

Produksi ayam mencapai 64 juta ekor per minggu,sementara kesanggupan pasar menyerap hanya 55 juta ekor. Artinya terdapat surplus sebesar 9 juta ekor yang menyebabkan jatuhnya harga daging ayam hidup ditingkat peternak.

Surat Edaran yang dikeluarkan Ditjen Peternakan dan Kesehatan yang meminta pengurangan produksi justru memicu harga DOC menjadi mahal yakni Rp 5.200-Rp 5.500 per butir dari sebelumnya sebesar Rp 4.800 per butir.

Nano juga menambahkan klausul peternak dengan budidaya 300.000 ekor harus memiliki Rumah Potong Hewan juga tidak menjamin stabilitas harga ayam.Pasalnya, kapasitas penyimpanan RPH hanya sebesar 10.000 ekor.

Nano berpendapat keberadaan peternak unggas mandiri semestinya mendapat proteksi,bimbingan dan insentif berusaha. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Liberalisasi disektor budidaya perunggasan yang dilegalkan dalam UU No 41 Tahun 2014 tentang perubahan UU No 8 Tahun 2009 semestinya dipagari dengan merilis produk turunan berupa peraturan pemerintah. Namun,nampaknya pemerintah alfa terhadap persoalaan ini sehingga skala usaha peternak unggas mandiri kian tergerus.kbc11

Bagikan artikel ini: