Kuota tenaga kesehatan Indonesia ke Jepang ditambah

Selasa, 16 Mei 2017 | 15:11 WIB ET

OSAKA, kabarbisnis.com: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) berharap agar kuota pengiriman perawat dan tenaga kesehatan asal Indonesia ke Jepang ditambah. Pasalnya, kinerja tenaga perawat dan kesehatan Indonesia sangat memuaskan pengguna dibandingkan negara lain, terutama dari Filipina dan Vietnam.

Kepala BNP2TKI Nusron Wahid mengatakan, pengiriman perawat, carewalker, dan caregiver merupakan implementasi dari Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) yang diteken pada 2007 antara pemerintah RI dan Jepang. Bentuk kerja sama itu adalah semua barang dan jasa bebas masuk ke Indonesia dan sebaliknya, Indonesia bebas mengirimkan perawat dan tenaga kesehatan ke Jepang.

Menurut Nusron, akibat kerja sama itu Indonesia kehilangan potensi pendapatan bea masuk barang kurang lebih sekitar RP 1 triliun hingga Rp 1,5 triliun. "Seharusnya kita bisa mengirim perawat yang banyak. Namun, dalam praktik, penggunanya terbatas hanya sekitar 500 perawat per tahun. Idealnya, supaya seimbang dengan remitansi yang masuk ke Indonesia, minimal 2.000 perawat," kata Nusron dalam rapat terbatas persiapan evaluasi 10 tahun IJEPA di Osaka, Jepang, Minggu (14/5/2017).

Selama kunjungan di Osaka, Nusron bersama tim BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri dan KJRI Osaka melakukan pertemuan intensif dengan The Overseas Human Resources and Industry Development Assosiation (HIDA), Japan International Corporation of Welfare Services, dan para pengguna tenaga kerja Indonesia yang tergabung dalam Japan Indonesia Bisnis Assosiation (JIBA).

Menurut Nusron, tingkat kepuasan pengguna, baik rumah sakit maupun panti lanjut usia di Jepang, sangat tinggi. "Kualitas bagus. Pelanggan puas. Kemudahan sudah dikasih. Namun, herannya, pihak Jepang yang kurang atraktif," ujarnya.

Salah satu yang menghambat perawat Indonesia dibanding Filipina dan Vietnam, katanya, adalah kemampuan berbahasa Jepang. Tenaga kerja dari Vietnam dan Filipina sebelum berangkat sudah mempunyai kemampuan bahasa Jepang level N2, sehingga mereka lulus tes langsung bisa bekerja.

Sementara, tenaga kerja dari Indonesia baru level N4. Sampai di Jepang, mereka masih harus kursus dulu selama 6 bulan untuk bisa sampai level N3. "Selama enam bulan di Jepang hanya latihan bahasa utk N3. Baru bekerja. Setelah itu, selama setahun ujian lagi ke level N2, baru setara dengan Vietnam. Kalau tenaga kerja kita tidak segera ditingkatkan, bisa kalah kompetitif. Kita akan menggenjot kemampuan mereka dan bekerja sama dengan beberapa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) di Indonesia agar mempersiapkan diri lebih dini," katanya. kbc10

Bagikan artikel ini: