Pertumbuhan kredit masih letoy, ini kata bos HIPMI

Rabu, 30 Agustus 2017 | 20:11 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pertumbuhan kredit di perbankan belum seperti diharapkan banyak pihak. Hal ini tidak lain terjadi karena dunia usaha merasa belum nyaman terhadap kondisi perekonomian nasional.

Merujuk hasil survey Bank Indonesia (BI), Saldo Bersih Tertimbang (SBT) permintaan kredit meningkat dari 52,9 % pada kuartal I 2017 menjadi 84,8% pada kuartal II 2017. Sementara itu, SBT permintaan kredit pada kuartal ke III tahun 2017 ini diperkirakan meningkat menjadi 99,3%.

Ketua Umum Himpungan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)  Bahlil Lahadalia berpendapat seharusnya pertumbuhan kredit pada kuartal II bisa lebih tinggi apabila kebijakan moneter, fiskal dari pemerintah berpihak pada kalangan usaha.Menurutnya selama ini melambatnya permintaan kredit karena kebijakan pemerintah masih setengah-setengah, terutama penyaluran kredit ke UMKM.

Padahal populasi UMKM terhadap total industri nasional hampir mencapai 99 % dan menjadi salah satu sektor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi."Keberpihakan kita kepada UMKM kita masih setengah hati, kebetulan saya di HIPMI mengurus UMKM, padahal 60 persen kontribusi pertumbuhan ekonomi kita adalah dari konsumsi dan (sektor) konsumsi itu paling besar untuk penyerapan tenaga kerjanya adalah dari UMKM bukan pengusaha besar itu," kata Bahlil di Jakarta, Rabu (30/8/2017).

Selain itu rendahnya penyerapan kredit juga dipengaruhi oleh jumlah pengusaha nasional. Menurutnya jumlah pengusaha menengah ke atas di Indonesia baru sekitar 1,6% dari total populasi atau jauh dibandingkan dengan Negara tetangga.

Akibatnya kebutuhan penarikan kredit ke perbankan atau lembaga keuangan lainnya pun rendah."Ini berbanding lurus dengan tingkat penyerapan kredit, jadi tidak mungkin jumlah pengusaha kita sedikit penyerapannya  (kredit) banyak," terangnya.

Menurutnya persoalan rendahnya pertumbuhan kredit juga dipengaruhi oleh aturan – aturan dari perbankan yang masih begitu ketat, terutama kepada pengusaha baru (start up) dan UMKM. Padahal banyak pelaku industri kreatif yang berasal dari kalangan anak muda yang sangat potensial namun terkendala dengan modal usaha.

Perbankan terkesan masih tebang pilih dalam menyalurkan kredit usaha kepada kelompok ini. Sehingga kredit usaha banyak dinikmati oleh kalangan yang selama ini sudah mendapatkan suntikan modal dari perbankan.

Seharusnya perbankan mau membuka mata dan memperluas basis penyaluran kreditnya agar tingkat penyerapan kredit dapat meningkat."Dalam kajian kita dengan pengusaha lain perbankan harus membuka diri agar kredit itu tidak hanya diberikan pada orang itu-  itu aja, akhirnya pemerataan ekonomi tidak terjadi," ulasnya.

Faktor lainnya, masih Bahlil, adalah terkait dengan masih tingginya suku bunga kredit yang ditetapkan oleh perbankan. Padahal Suku bunga acuan atau BI 7-Day Repo Rate sudah diturunkan menjadi 4,5 % dari sebelum 4,75 . Hal ini berakibat pada kecenderungan minat masyarakat atau kalangan usaha mengurungkan niatnya menarik kredit dari perbankan.

"Tidak ada gunanya BI rate diturunkan menjadi 4,5 persen kalau bunga perbankan masih di atas 10 persen, nggak ngefek sama sekali," kata dia.

Belum maksimalnya pertumbuhan kredit di perbankan yang terjadi selama ini ditengarai karena pelaku usaha masih belum confidence terhadap perekonomian nasional.Berdasarkan hasil survey Bank Indonesia (BI), Saldo Bersih Tertimbang (SBT) permintaan kredit meningkat dari 52,9 % pada kuartal I 2017 menjadi 84,8 % pada kuartal II 2017. Sementara itu, SBT permintaan kredit pada kuartal ke III tahun 2017 ini diperkirakan meningkat menjadi 99,3%.kbc11

Bagikan artikel ini: