Ekonom senior ini geram, RI jadi importir gula terbesar dunia

Senin, 14 Januari 2019 | 22:41 WIB ET
Faisal Basri
Faisal Basri

JAKARTA, kabarbisnis.com: Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menuding Kementerian Perdagangan doyan obral izin impor impor pangan strategis seperti gula, beras atau garam. Dia mengaku geram dengan lonjakan impor gula yang melesat bahkan menjadikan Indonesia menjadi negara terbesar impor gula.

Dari data Statistik impor gula Indonesia periode 2017/2018 sebesar 4,45 juta ton. Sementara China 4,2 juta ton, Amerika Serikat (AS) 3,11 juta ton dan UAE 2,94 juta ton. Menurut Faisal biasanya Indonesia selalu berada di peringkat ketiga atau keempat sebagai pengimpor gula terbesar.

"Saya kaget juga, melihat data statistik bahwa Indonesia sudah menjadi importir terbesar di dunia. Sebelumnya, kan enggak terbesar," kata Faisal di acara diskusi 'Manisnya Rente Impor Gula” di Jakarta, Senin (14/1/2019).

Dia menampik apabila alasan impor tersebut karena terjadi kelangkaan stok. Padahal stok gula di berbagai gudang Bulog sangat mencukupi. Kekurangan pasokan gula sebenarnya hanya ada di tingkat pedagang. Seharusnya hal itu dapat diselesaikan dengan menggelontorkan gula yang ada di gudang-gudang Bulog.

Namun di era Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, justru pemerintah langsung impor, tanpa kajian yang matang. Faisal menegaskan manajemen stok komoditas pangan semakin kacau. Tanpa melakukan telaah lebih dalam terkait ketersediaan gula, pemerintah langsung keluarkan izin impor.

Peningkatan impor lebih cepat dari kecepatan kebutuhan. Padahal impor untuk menutup kebutuhan konsumsi. Karena terlalu semangat mengimpor, stok meningkat tapi impor malah naik."Impor 4,6 juta ton (2018) kebutuhan hanya 3 juta ton, selebihnya?

Mengalir ke pasar untuk gula konsumsi. Pemerintah menggunakan untuk stabilitas harga di pasar, padahal sebelumnya pemerintah mengatakan, gula rafinasi tidak boleh dipasarkan karena tidak baik bagi kesehatan, sekarang pemerintah pakai gula rafinasi untuk stabilisasi harga," kata Faisal.

Data Kementerian Pertanian menyebutkan produksi gula pada 2018 tercatat sebesar 2,14 juta ton. Pada tahun yang sama, realisasi impor gula mentah untuk industri sebesar 3,37 juta ton serta impor gula kristal putih untuk konsumsi mencapai 1,07 juta ton.

Namun dari kebijakan tersebut, Faisal menyatakan impor gula untuk industri tidak membantu peningkatan produksi dalam negeri. Sebanyak 11 perusahaan gula rafinasi yang menjadi importir gula mentah memiliki pabrik yang berlokasi bukan di sentra produksi.”Berburu rente menikmati tanpa keringat, free rider, penunggang percuma, itu yang harus kita perangi,”tegasnya.

Karenanya, keuntungan perbedaan harga gula yang tinggi hanya dirasakan pengusaha importir serta pemerintah yang menjadi pihak pembuat kebijakan impor. "Upaya jangka pendek ini membuat gula petani susah terserap," terang Faisal

Alhasil, petani pun semakin enggan menanam tebu akibat harganya menjadi sulit bersaing  dengan produk impor. Apalagi biaya produksi gula semakin mahal karena ongkos sewa tanah dan upah pekerja.kbc11

Bagikan artikel ini: