Produksi gula 2020 susut jadi 2,13 juta ton

Rabu, 6 Januari 2021 | 11:33 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Kemenerian Pertanian mencatat produksi gula tahun 2020 mencapai 2,13 juta ton. Capaian produksi itu mengalami penurunan dari posisi 2019 yang tercatat sebanyak 2,22 juta ton.

Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono mengatakan, salah satu faktor turunnya produksi dipengaruhi oleh cuaca. Kendati demikian, Kementan tetap fokus untuk menggenjot produksi tebu dalam negeri dengan langkah eksetensifikasi dan intensifikasi lahan perkebunan.

"Produksi kita 2,13 juta ton itu memang turun karena faktor cuaca," kata Kasdi seperti dikutip, Selasa (5/1/2021).

Kasdi menjelaskan, swasembada gula dikejar melalui upaya rawat raton seluas 75 ribu hektare dan bongkar raton 250 ribu hektare. Selain itu, juga dilakukan penambahan areal perkebunan tebu 50 ribu hektare.

Menurut Kasdi, dari hitungan luasan tersebut, bisa dihasilkan sekitar 676 tambahan produksi gula dalam negeri tentunya dengan dukungan investasi pabrik gula. Jumlah itu cukup untuk menutupi kekurangan pasokan gula konsumsi nasional saat ini.

Sebab, rata-rata produksi gula tebu untuk konsumsi rumah tangga baru berkisar 2,2 juta ton sementara rerata kebutuhan mencapai 2,8 juta ton.

Dalam kesempatan berbeda, Kemeterian Perdagangan mengungkapkan, harga gula dalam negeri diketahui lebih mahal 28,1 persen dari rata-rata harga pasar global. Sejumlah faktor menjadi pemicu tingginya harga gula yang harus ditanggung oleh konsumen.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi mengatakan, pada tahun ini, disparitas harga gula justru meningkat. Di mana harga yang diterima konsumen dalam negeri lebih tinggi 29,7 persen dari harga dunia.

"Konsmen dalam negeri membeli gula lebih mahal dibandingkan harga yang dinikmati masyarakat global," kata Didi.

Didi menjelaskan, harga gula domestik lebih tinggi disebabkan oleh besaran biaya pokok produksi (BPP) gula yang dikeluarkan petani dalam memproduksi gula. Ia mencatat rata-rata BPP yang dikeluarkan petani mencapai Rp 9.857 per kilogram (kg).

Tingkat BPP tersebut naik dari rata-rata BPP gula tahun lalu sebesar Rp 9.554 per kg. Adapun rata-rata BPP tebu di pasar internasional sekitar Rp 5.465 per kg.

Lebih lanjut, produktivitas tebu yang rendah turut menjadi pemicu. Didi menyebutkan produktivitas gula nasional mencapai 5 ton per ha per tahun. Sementara itu, negara produsen lain seperti India dan Thailand, bisa mencapai produktivitas mencapai 9 ton per hektare per tahun.

Biaya sewa lahan yang masih tinggi juga memicu tingginya harga gula domestik. Sewa lahan memberikan kontribusi sekitar 30 sampai 40 persen terhadap komponen BPP gula.

Adapun soal kualitas, ia mengatakan gula dari luar negeri cenderung lebih baik karena tingkat rendemennya yang mencapai 9 persen. Rendemen di Indonesia tercatat masih berkisar 6,8 sampai 7 persen.

"Ini merefleksikan bahwa kebutuhan gula masyarakat belum ditopang secara penuh oleh industri gula dalam negeri sendiri. Kita masih menjadi importir gula terbesar di dunia, nomor satu," katanya.

Karena itu, Didi mengatakan, situasi gula dalam negeri perlu mendapatkan perhatian penuh dari semua pemangku kepentingan. Sebab, tanpa langkah strategis yang ditempuh, ketergantungan impor akan semakin besar. kbc10

Bagikan artikel ini: