Harga tes PCR turun, HIPMI minta pemerintah perhatikan kualitas

Kamis, 4 November 2021 | 14:03 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Polemik harga tes PCR yang dinilai masih relatif mahal oleh masyarakat, kini telah menemukan titik terang. Seperti yang diketahui, sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk menurunkan batas tertinggi harga tes PCR. Saat ini, biaya tes PCR di Jawa-Bali menjadi Rp 275 ribu, sedangkan di luar daerah tersebut menjadi Rp 300 ribu.

Belakangan ini Pemerintah fokus terhadap harga PCR Test, disatu sisi Kualitas PCR Test harus tetap dijaga, karena untuk mendeteksi Setiap orang terpapar virus atau tidak, dan juga menjamin aktivitas sosial tetap hidup dan sehat. Pemerintah saat ini belum mengambil kebijakan mengenai kualitas serta standar dalam PCR Test yang dilakukan oleh Klinik kesehatan atau Rumah Sakit.

Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua Bidang Ketenagakerjaan, Vokasi, dan Kesehatan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Sari Pramono mengungkapkan bahwa seharusnya penurunan tarif PCR memperhatikan suara-suara dari pengusaha.

"Perlu ada balancing, harus dengar dari sisi pengusaha. Pengujian tes PCR di laboratorium menggunakan banyak komponen seperti reagen, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang harganya mahal dan harus impor. Belum lagi setiap pengoperasian laboratorium membutuhkan adanya tenaga ahli medis yang mumpuni. Jangan sampai harga turun tapi teknis operasional jadi sembarangan demi mengejar harga yang ditetapkan pemerintah," ujar Sari dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (4/11/2021).

Sari meminta agar ada SOP yang baku dari pemerintah agar teknis di lapangan berjalan baik dan bisa dimonitor sesuai. Selain itu, penanganan limbah agar virus jangan sampai tersebar secara tidak sengaja juga menjadi beban biaya yang tidak sedikit. Komponen-komponen inilah yang dinilai sangat mempengaruhi tarif PCR di masyarakat.

Dia bilang, perlu diperhatikan mengenai harga tersebut apakah laboratorium-laboratorium di dalam prosesnya menjalankan sesuai dengan ketetapan pemerintah, seperti penetapan standarisasi dan proses monitoring evaluasi terhadap sebuah laboratorium PCR. Selain manpower tenaga kesehatan dan kualifikasi, standar gaji, struktur organisasi dalam operasional laboratorium seperti apa, jenis mesinnya, platform, infrastruktur laboratorium dan spesifikasi ruangan/biosafety level (BSL), material/bahan habis pakai seperti reagen dan alat pelindung diri (APD), penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), serta kalibrasi dan maintenance alat.

Apalagi reagen, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai banyak yang harus diimpor dari luar negeri. Komponen-komponen ini mesti menjadi pertimbangan kita dalam menentukan tarif harga PCR. Pengusaha sudah menyiapkan stok reagen berkualitas yang banyak, tidak mungkin karena harga turun kita ganti dengan kualitas yang kurang baik.

Dia mengambil contoh bagaimana laboratorium di Jakarta bisa banyak tapi di daerah-daerah belum memiliki lab yang mumpuni dan harus menunggu waktu lama untuk hasilnya.

"Laboratorium PCR mungkin di Jakarta cukup mudah dan banyak pilihan, namun di beberapa daerah masih sulit sekali menemukan laboratorium PCR dengan hasil cepat bahkan harus mengantri berhari-hari. Apakah pengusaha laboratorium tidak berminat untuk investasi di daerah karena kurang menarik atau karena terlalu besar investasinya dengan risiko besar dan harga minim sehingga sulit beroperasi, hal ini harus menjadi pertimbangan agar laboratorium PCR menjadi accessible di seluruh penjuru Indonesia supaya tracing tetap terjaga dan memudahkan untuk bepergian ataupun kebutuhan PCR untuk lanjutan pemeriksaan kesehatan," pungkasnya.kbc11

Bagikan artikel ini: