DEN pilih transisi via penerapan teknologi jadikan energi fosil ramah lingkungan

Kamis, 7 April 2022 | 21:13 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Dewan Energi Nasional (DEN) menyebutkan strategi transisi energi rendah karbon di Indonesia tidak akan meninggalkan energi fosil, melainkan dengan memanfaatkan teknologi agar energi fosil tersebut menjadi lebih ramah lingkungan.

"Indonesia memilih agar energi fosil tidak phase out dengan mengimplementasikan teknologi bersih," kata Anggota DEN Satya Widya Yudha dalam diskusi publik Indef, Kamis, (7/5/2022).

Dalam forum kelompok kerja transisi energi G20 yang dilaksanakan di Yogyakarta pada akhir Maret 2022 lalu, keputusan Indonesia untuk tidak meninggalkan energi fosil hampir selaras dengan beberapa negara penghasil fosil, salah satunya Arab Saudi.

Indonesia kini mencoba untuk menggunakan teknologi bersih dalam memanfaatkan energi fosil baik itu batu bara maupun minyak bumi, sehingga perlu penerapan teknologi berupa penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS/CCUS).

Satya mengungkapkan, nilai keekonomian CCS/CCUS kini masih terbilang mahal lantar teknologi ini masih tergolong baru. Total emisi karbon dioksida di Indonesia berada pada angka 1,2 gigaton dengan 35 persen disumbang dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara.

Teknologi CCUS yang dipakai akan mengurangi emisi karbon yang dilepas ke atmosfer melalui teknologi pemanfaatan emisi karbon untuk produksi alga maupun injeksi Enhance Oil Recovery (EOR).Berdasarkan studi PLN dan Bank Dunia pada 2015, CCUS secara teknis layak untuk dikembangkan di Indonesia.

Teknologi itu dapat meningkatkan biaya produksi secara signifikan tetapi masih bisa bersaing dengan pembangkit listrik panas bumi, sehingga memerlukan insentif dan dukungan kebijakan dari pemerintah. Menurut Satya, penambahan teknologi CCS pada PLTU dapat meningkatkan biaya produksi listrik US$3-US$ 4 per kWh. Sedangkan penggunaan sistem penyimpanan energi berbasis baterai atau BESS dapat meningkatkan biaya produksi listrik US$6-US$7 per kWh.

"Ini menggambarkan saja, mudah-mudahan teknologi CCS ke depan akan lebih murah. Kalau sekarang masih di kisaran US$100 per ton, namun beberapa penelitian di Amerika Serikat ingin menekankan sampai US$40 per ton," jelas Satya.

Pada 2020 total ada 28 fasilitas CCUS yang beroperasi di seluruh dunia dan hanya sembilan unit yang memiliki kapasitas di atas satu juta ton per tahun. Mayoritas proyek CCUS berskala besar (Shute Creek, Century, dan Great Plains) menggunakan karbon dioksida yang ditangkap untuk EOR agar bisa meningkatkan produksi migas.

Saat ini teknologi CCUS telah dikembangkan pada sejumlah lapangan minyak dan gas di Indonesia, antara lain lapangan Gundih, Sukowati, Sakakemang, Kalimantan Timur hingga Tangguh, dengan menggunakan mekanisme bagi hasil yang dibebankan kepada negara. "Kami mengharapkan CCUS ke depannya akan lebih murah ataupun lebih efisien, sehingga bisa diterapkan di seluruh energi fosil yang sarat dengan karbon dioksida," ujar Satya.

Meski pemerintah Indonesia tegas menyatakan sikap untuk tetap memakai batu bara sebagai salah satu sumber energi domestik. Namun pemerintah terus berupaya mempercepat pengembangan energi baru terbarukan, berupa pemanfaatan kendaraan listrik, sistem baterai, hidrogen, hingga dimetil eter.

Adapun strategi transisi energi rendah karbon yang kini dijalankan oleh pemerintah Indonesia memerlukan smart grid dan konservasi energi dengan tetap menekankan efisiensi.

"Apabila kita bisa melakukan skenario besar seperti ini, maka tujuan kita untuk ketahanan dan kemandirian energi, pembangunan berkelanjutan dan pembangunan rendah karbon, serta ketahanan iklim akan tercapai," pungkasnya.kbc11

Bagikan artikel ini: