Sri Mulyani ungkap kekhawatiran kenaikan suku bunga di AS

Rabu, 8 Juni 2022 | 09:19 WIB ET
Menkeu Sri Mulyani Indrawati
Menkeu Sri Mulyani Indrawati

JAKARTA, kabarbisnis.com: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan mulai mewaspadai situasi inflasi di Amerika Serikat (AS) yang sudah mencapai 8%, Inggris 9%, dan Eropa 7%.

Dia mengatakan, dari situasi tersebut, tidak memungkinkan bagi negara-negara itu untuk menjaga suku bunga di level yang rendah.

"Ini yang terjadi di AS di mana sekarang di seluruh dunia menggunakan dolar AS lebih dari 60% sehingga dolarisasi itu mempengaruhi. Setiap kebijakan Fed Funds Rate pasti akan mempengaruhi seluruh dunia," ujar Sri dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPD RI di Jakarta, Selasa (7/6/2022).

Secara historis, AS dalam 40 tahun terakhir, ketika inflasi melonjak tinggi, maka akan direspon dengan kenaikan suku bunga.

Berdasarkan chart data dari tahun 1970 hingga 2022, pada saat inflasi tinggi yang kemudian menyebabkan suku bunga naik adalah ketika terjadi perang di Iran-Irak, embargo minyak, dan waktu terjadinya berbagai situasi kenaikan pressure dari sisi harga minyak.

"Fed Funds Rate melakukan overshooting untuk memukul inflasi kembali turun. Namun, yang turun ke bawah tidak hanya inflasi, tetapi juga pertumbuhan ekonomi AS. Pada saat inflasi tinggi, dan bahkan ketika Fed Funds Ratenya mencapai 20%, bayangkan dari 0 bisa sampai setinggi itu," jelasnya.

Kepada Komite IV DPD RI, Sri Mulyani menyampaikan bahwa dalam lingkungan kebijakan mereka, terbiasa dengan harga dolar AS dengan suku bunga selalu rendah selama tahun 2010 hingga sekarang.

Dia menyebut di AS suku bunganya pernah mencapai 5% hingga 20% pada saat inflasi pernah mencapai 14%.

"Kalau AS melakukan adjustment, maka akan terjadi resesi. Dari chart data, AS pernah mengalami negative growth beberapa kali, itulah yang disebut antara kombinasi antara inflasi dan resesi yang kemudian disebut sebagai stagflasi. Tahun ini, kita lihat suku bunganya masih di 0,25 dan kemarin Fed Funds Rate sudah naik 50%, dia akan menuju ke 3,5%," paparnya.

Dia menerangkan ini artinya dolar AS menjadi sangat mahal.

Dalam hal ini akan memberikan konsekuensi kepada seluruh dunia karena interest rate global akan mengalami kenaikan.

"Ini hanya di AS, tapi kalau saya kombinasikan dengan Eropa yang inflasinya juga 7&, maka tren ke atas itu tidak akan terhindarkan. Beberapa negara yang sudah mengalami inflasi yang sudah dan sangat tinggi seperti AS, Eropa, Inggris, Korea Selatan, semuanya sudah mulai menaikkan suku bunga. Untuk emerging countries, naiknya lebih cepat karena mereka cannot afford behind the curve, kalau mereka lambat dibandingkan kenaikan suku bunga AS, maka capital outflow terjadi," ucapnya.

Dia menjabarkan kalau kondisi ini adalah risiko yang sangat berbeda dengan kondisi pandemi.

Ketika pandemi, seluruh kegiatan ekonomi berhenti, namun sebetulnya masing-masing masih memiliki daya tahan kecuali jika yang terkena itu rakyat bawah dan UMKM.

"Kalau sekarang, begitu suku bunga mulai naik, maka yang terkena adalah korporasi dan sektor keuangan. Ini adalah tipikal potensi financial crisis. Karena berdasarkan historisnya, setiap suku bunga AS naik, pasti terjadi krisis di berbagai belahan dunia," pungkasnya. kbc10

Bagikan artikel ini: