Soal besaran UMP 2023, pebisnis ingatkan soal potensi PHK

Rabu, 30 November 2022 | 18:27 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah Provinsi (Pemprov) di sejumlah daerah telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023. Besaran UMP 2023 dihitung menggunakan formula baru yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pembangunan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang mengkhawatirkan jika kenaikan UMP 2023 di luar kemampuan dunia usaha. Pasalnya tidak ada yang tahu bagaimana kondisi ketidakpastian ekonomi global di tahun depan.

"Baru kita proses dari kembali ke normal tiba-tiba dihadapkan dengan perang Rusia-Ukraina yang bikin krisis pangan dan energi, tahun depan kita nggak tahu. Jadi kalau tahun depan naik sekian persen, coba dibayangkan bagaimana kondisi dunia usaha mampu apa tidak," kata Sarman seperti dikutip, Rabu (30/11/2022).

Jika UMP di luar kemampuan pengusaha, kata Sarman, ruang kerja bagi pengangguran akan semakin terbatas. Pasalnya UMP 2023 diperuntukkan bagi mereka yang baru pertama kali kerja (fresh graduate) dan belum berkeluarga.

"Pengusaha yang rencana tahun depan mau merekrut karyawan baru, itu bisa tertunda atau dihilangkan. Nah itu bagi pengangguran ruang kerjanya jadi berkurang," jelasnya.

Risiko kedua dengan tingginya kenaikan UMP juga bisa terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). "Bisa saja (perusahaan) akan melakukan rasionalisasi yaitu pengurangan karyawan atau bahkan PHK dalam hal ini," imbuhnya.

Selain itu, bisa terjadi relokasi pabrik secara besar-besaran ke daerah yang UMP-nya paling rendah. Pasalnya saat ini ketimpangan UMP di berbagai daerah sangat besar.

"Pemindahan pabriknya bisa terjadi itu, mencari UMP yang lebih rendah. Katakanlah di Jawa Barat, jomplang antara Bekasi, Tangerang, dengan Garut itu jauh UMP-nya. Itu juga sesuatu yang kita khawatirkan dalam hal ini," ujar Sarman.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menggambarkan betapa berubah-ubahnya kondisi dunia usaha saat ini. Sebagai contoh pada 2021 sektor tekstil hingga mebel masih kebanjiran ekspor karena diuntungkan perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China, namun saat ini kondisi berbalik di mana permintaan melemah akibat inflasi tinggi.

"Awal tahun masih oke, ternyata terjadi high inflation, orang takut spending akhirnya permintaan mulai rendah karena pilih saving dulu. Akhirnya yang terjadi overstock, banyak order di-cancel, itu terjadi," tuturnya.

Asrjad mengingatkan jangan sampai Indonesia dibanjiri impor ilegal. Pasalnya hal itu bisa jadi penyebab pasar dalam negeri tidak berjalan dengan baik.

"Kita harus bisa menjadi raja di market Indonesia sendiri. Ini harus kita jaga impor dengan baik, jangan sampai kita dibanjiri inpor. Misalnya tekstil, jangan sampai diganggu dari luar dong. Bagaimana memastikan impornya itu yang jelas," kata Arsjad. kbc10

Bagikan artikel ini: