Bank Indonesia dorong penerapan keuangan hijau
SURABAYA, kabarbisnis.com: Dukungan terhadap isu ekonomi keberlanjutan terus menguat, termasuk dari sektor keuangan dengan bergulirnya istilah green finance. Green finance atau keuangan hijau adalah pengadaan dan penggunaan dana untuk kegiatan yang betujuan untuk melindungi lingkungan dan memberikan fair return bagi investor atau pemberi pinjaman.
Dalam hal ini, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia yang memiliki tugas membangun stabilitas sistem keuangan memiliki kepedulain tinggi terhadap hal tersebut.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK), Maret 2023, menyampaikan, sebagai bagian dari negara ASEAN, Indonesia dinilai cukup rentan terhadap perubahan iklim. Tingginya risiko bencana alam, ketergantungan terhadap sektor yang sensitif terhadap iklim seperti pertanian dan SDA, serta tingginya populasi dan ekonomi berbasis pesisir.
Untuk menangkal berbagai tantangan tersebut, diperlukan penerapan keuangan hijau. Oleh karena itu, Perry menekankan pentingnya transisi yang terkelola dengan baik untuk memitigasi risiko ekonomi dan sosial.
Untuk mencapainya, ada tiga konsideran yang diperlukan, yaitu kebijakan yang kuat dari otoritas dan dukungan politik pemerintah, kerangka transisi perubahan iklim yang jelas, serta keberlangsungan modal untuk pembangunan proyek berkarakteristik hijau.
"Bank sentral berperan bukan hanya untuk mempromosikan keuangan hijau tetapi juga pada tahap implementasinya, terutama pada transisi keuangan," ucap Perry.
Perry menegaskan, BI berkomitmen bersama swasta dan pemerintah menuju Sustainable Development Growth (SDG). Implementasinya, BI menerapkan sejumlah kebijakan diantaranya insentif likuiditas bagi bank yang menjalankan proyek hijau, asistensi teknis keuangan hijau berbalut loka karya untuk pemerintah daerah, dan manajemen cadangan devisa yang meliputi portofolio sektor hijau dan sukuk.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Yati Kurniati mengatakan salah satu langKah BI dalam mendukung ekonomi berkelanjutan adalah dengan memberikan insentif kepada perbank yang memberikan pembiayaan hijau di sektor hilir.
Langkah ini dinilai perlu dilakukan karena sampai saat ini sektor keuangan masih dihadapkan pada tantangan global maupun risiko di dalam negeri. “Pemulihan ekonomi kita signifikan, kredit tumbuh tinggi, yield SBN turun, periode Maret ini nilai tukar kembali menguat kembali,” kata Yati dalam diskusi acara peluncuran Kajian Stabilitas Sistem Keuangan Nomor 40, Rabu (10/5/2023).
Ia menegaskan, pembiayaan hilirisasi memang sangat tinggi. Meskipun begitu, Yati memastikan BI akan mendorong intermediasi pada industri hilirisasi.
Tidak hanya di sektor tambang, Yati menegaskan BI juga akan mendorong hilirisasi sektor pertanian, perkebunan, hingga perikanan. Di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan, pembiayaan lebih banyak diberikan kepada perusahaan kecil. Sementara tambang, kebanyakan perusahaan menengah ke atas.
“Untuk mendorong industri hilirisasi di Indonesia membutuhkan sinergi dengan otoritas terkait. Untuk itu, BI mendukung melalui insentif yang diberikan kepada bank untuk memberikan pembiayaan hijau,” katanya.
Pada kesempatan yang berbeda, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyatakan telah memberikan berbagai relaksasi kepada perbankan untuk mendorong pembiayaan hilirisasi. "Hilirisasi merupakan program strategis pemerintah, maka yang dilakukan penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) kredit lebih rendah. Ini berlaku bukan hanya perbankan tapi juga perusahaan pembiayaan," ujar Mahendra.
Mahendra menjelaskan, relaksasi diberikan tidak hanya untuk pengembangan di hulu namun juga di hilir. Salah satu relaksasi dimaksud yakni OJK memperpanjang kebijakan insentif bagi penyediaan dana kepada debitur untuk sektor produksi dan konsumsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai hingga 31 Desember 2023.
Ciptakan UMKM Hijau
Dukungan terhadap ekonomi keberlanjutan juga diwujudkan Bank Indonesia dengan mempersiapkan UMKM dalam bertransformasi menuju UMKM hijau. Hal ini sejalan dengan fokus Presidensi G20. Sebagai langkah awal, di akhir tahun 2022, BI bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyusun Kajian Model Bisnis Pengembangan UMKM Hijau.
Hal ini diungkapkan pada acara “Seminar dan Peluncuran Buku Kajian Model Bisnis Pengembanagn UMKM HIjau” yang diselenggarakan secara daring pada Desember 2022 yang lalu.
Kajian tersebut berisi kerangka pengembangan serta strategi implementasi model bisnis UMKM hijau yang berfokus pada sektor pertanian dan kerajinan dengan cakupan antara lain identifikasi definisi, kriteria, dan indikator UMKM hijau, penyusunan dan analisa model bisnis UMKM hijau, serta strategi dan rekomendasi untuk implementasi program UMKM hijau.
Kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam mengimplementasikan pengembangan UMKM hijau sekaligus dapat menjadi rekomendasi dan referensi bagi otoritas terkait, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah serta berbagai pemangku kepentingan lainnya dalam pengambilan kebijakan dan mengimplementasikan program pengembangan UMKM Hijau.
Pada kesempatan tersebut, Doni Primanto Joewono yang saat itu masih menjabat sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia menyampaikan bahwa pengembangan UMKM Hijau merupakan salah satu inisiatif dalam framework Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Hijau Bank Indonesia. Upaya dan proses transformasi hijau Bank Indonesia diterapkan baik dari sisi kebijakan dan kelembagaan.
Dari sisi kebijakan, Bank Indonesia mendorong terciptanya pembiayaan berwawasan lingkungan (green financing) melalui penerbitan peraturan rasio Green Loan to Value (LTV)/Financing to Value (FTV), Green Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM), serta mengembangkan instrumen pasar uang hijau. Lebih lanjut, dari sisi kelembagaan, Bank Indonesia berupaya dan berproses untuk melanjutkan transformasi dari aspek tata kelola, manajemen risiko, strategi serta performance indikator hijau. Hal ini menunjukkan komitmen Bank Indonesia untuk mengawal transformasi hijau dari semua aspek sehingga dapat pula menjadi best practice kelembagaan sekaligus bank sentral hijau.
Melalui kegiatan ini diharapkan dapat terjalin sinergi dan kolaborasi yang lebih kuat antar berbagai pihak sehingga terdapat upaya yang masif dalam mendiseminasikan dan mereplikasi model bisnis UMKM hijau. Forum ini juga untuk menyelaraskan kebijakan maupun inisiatif dari para pemangku kepentingan untuk mewujudkan UMKM hijau sebagai kekuatan baru perekonomian Indonesia semakin nyata.
Dukungan juga mengalir dari perbankan
Sebagai motor perekonomian, bank memperkuat portofolio pembiayaan hijau atau green financing untuk mendanai berbagai proyek yang sejalan dengan arah pembangunan berkelanjutan. Hampir semua bank papan atas di Indonesia, mencatat pertumbuhan portofolio kredit hijau.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, misalnya, mencatat portofolio terhadap pembiayaan berkelanjutan sebesar Rp226,3 triliun hingga semester pertama tahun ini. Jumlah itu mewakili 25 persen dari total kredit yang disalurkan oleh perseroan.
Angka itu juga tercatat konsisten tumbuh dibandingkan dengan posisi pada 2019 yang masih di kisaran 20 persen. Porsi pembiayaan terbesar menyasar sektor perkebunan, terutama industri kelapa sawit berkelanjutan. Selain itu, sektor transportasi dan energi bersih.
Demikian halnya dengan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang membukukan portofolio pembiayaan hijau hingga Rp657,1 triliun atau 65,5 persen dari total kredit yang disalurkan hingga Juni 2022. Dari total portofolio itu, mayoritas disalurkan kepada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan bisnis utama BRI.
Selain sektor UMKM, pembiayaan hijau BRI menyasar sektor energi, transportasi, bangunan ramah lingkungan, pengairan, dan lainnya. Komitmen kedua bank dengan aset terbesar di Indonesia itu menjadi gambaran keseriusan industri perbankan dalam praktik ekonomi berkelanjutan yang menjadi bagian dari kerangka Presidensi G20.
Pendekatan Baru
Meski demikian, harus diakui tantangan dalam pembiayaan hijau ini tak mudah. Sebagai sebuah bidang yang relatif baru, tolok ukur pembiayaan hijau tentu juga membutuhkan pendekatan baru. Semua komponen yang terlibat dalam ekonomi berkelanjutan, baik itu pemerintah, korporasi, hingga lembaga keuangan perlu memastikan indikator dalam green financing terpenuhi, baik itu kelayakan proyeknya, keberpihakan terhadap lingkungan, hingga pengembangan masyarakatnya.
Di luar itu, pelaku industri juga perlu dorongan dengan berbagai skema insentif supaya memiliki komitmen dalam mengembangkan sektor-sektor bisnis yang ramah lingkungan. Dengan makin masifnya sektor ramah lingkungan itu, diharapkan nilai keekonomian dari sebuah proyek hijau dapat tercapai. Bila nilai keekonomian tercapai, perbankan pun akan melihat proyek-proyek ramah lingkungan memang layak didanai.kbc6
Paling Banyak Dikeluhkan, Granostic Hadirkan Layanan Pain Management Center
Jelang Konggres XXV di Bandung, Inilah Harapan Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim
Nilai Transaksi Kripto Menyusut pada Januari - Agustus 2023
The Fed Diramal Bakal Kerek Suku Bunga Jadi 5,75 Persen di Akhir Tahun
Hindari 'Penjajahan' Teknologi, RI Harus Segera Geber 5G