Pengusaha Garam Lokal Menjerit, Stok Habis dan Terpaksa Rumahkan Karyawan
SURABAYA, kabarbisnis.com: Kalangan pelaku industri garam nasional menjerit akibat kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada pengusaha lokal. Pasalnya, stok garam lokal habis, sehingga karyawan atau pekerja perusahaan terancam dirumahkan.
Bukan tidak mungkin, jika hal ini dibiarkan, angka pengangguran dipastikan bakal bertambah. Tak main-main, jumlah karyawan di induatri garam bisa mencapai ribuan orang.
Direktur Utama PT Budiono Madura Bangun Persada, Pang Budiono mengatakan, ancaman merumahkan pekerja sektor ini sebagai dampak dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI yang tak kunjung mengeluarkan kebijakan baru untuk menyelamatkan pengusaha garam lokal dan pekerjanya. Justru kementerian terkesan mengabaikan kesulitan pengusaha-pengusaha lokal ini dan lebih mementingkan pengusaha pengimpor garam.
"Bayangkan pekerja saya jumlahnya lebih dari 1.000 orang, sekarang sekitar 70 sampai 80 persen telah saya rumahkan. Saya ndak punya stok garam, semua sudah habis," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (5/6/2023).
Pang Budiono mengatakan, kondisi pengusaha-pengusaha lokal benar-benar diujung tanduk. Saat ini, stok garam milik petani sudah tidak ada, karena kondisi cuaca yang tidak menentu. Belum lagi harga garam yang melambung mencapai Rp 5.000 per kilogram, ditambah lagi dengan kualitas garam dari petani yang sangat buruk.
"Cuaca saat ini tidak memungkinkan untuk produksi garam. Ada garam-pun umurnya pendek, umurnya hanya 3 hari, otomatis kualitasnya jelek," ujarnya.
Padahal, ujarnya, idealnya umur mutu garam sekitar 12 hari untuk bisa membentuk kristalisasi bagus dengan kualitas baik. Selain itu, harga yang diterapkan di pasaran benar-benar tidak bersahabat. Menurutnya, harga garam standar internasional, berkisar Rp 1.250 hingga Rp 1.500 per kilogram.
"Kalau harga sampai Rp 5.000, per kilogram itu sangat tidak wajar. Ongkos produksi bagaimana? Harga ke pasaran berapa? Harusnya pemerintah memberi solusi masalah ini. Kita ini pengusaha lokal yang ingin garam lokal memiliki kualitas tinggi," tegasnya.
Direktur PT Jakarta Garamindo Sejahtera, Ferri Chandra menambahkan, pengusaha garam lokal memang sedang dalam masalah. Tetapi tidak ada upaya pemerintah untuk memberikan bantuan kebijakan untuk pengusaha yang masih kelas UMKM ini. Justru pemerintah lebih memperhatikan perusahaan yang melakukan impor garam. Mereka seperti anak emas yang selalu diperhatikan saat akan mendatangkan garam dari luar negeri.
Padahal, pengusaha-pengusaha pengimpor garam tersebut sering bermasalah dengan hukum. Tetapi anehnya, justru mereka (pengusaha pengimpor) garam mendapatkan jatah impor garam dari luar negeri. Seharusnya, pengusaha lain memiliki peran yang sama untuk mendaptkan impor garam dari negara lain.
"Kita ini kehabisan stok garam dari petani, harusnya pemerintah memberikan solusi yang baik bagi kami, bukan dibiarkan seperti saat ini," katanya.
Ferri menegaskan, perusahaan lokal ini memiliki pekerja yang menghidupi anak istri, namun karena tidak ada stok garam, terpaksa perusahaan lokal merumahkan mereka. "Ada 50% sendiri pekerja yang saya rumahkan. Saya tidak ada barang, kan tidak mungkin saya pertahankan mereka," akunya.
Saat ini, lanjut Ferri, produksi garam petani sangat sedikit, jika ditemukan garam petani harganya sangat melambung. Tak tanggung-tanggung, harga yang ada sekitar Rp 5.000 hingga Rp 7.000 per kilogram. Harga ini tidak masuk akal dan jika terpaksa diproduksi-pun akan kesulitan untuk menjual. Karena di pasaran atau ritel masih ada yang menjual dengan harga garam sekitar Rp 7.000 per kg. Mereka berasal dari perusahaan-perusahaan yang mendapatkan jatah impor.
"Kan tidak masuk akal, saat garam petani untuk konsumsi langka justru perusahaan garam yang mendapatkan impor menjual garam dengan harga murah. Lha kami pengusaha kelas UMKM mau bagaimana?" ungkap dia.
Direktur PT Garsindo Anugerah Sejahtera (GAS), Yohannes Sugiarto menambahkan, perusahaan garam lokal dalam kondisi diambang kebangkrutan. Ini disebabkan pengusaha membeli garam petani dengan harga tinggi, seharga Rp 5.400 hingga Rp 5.600 per kilogram. Padahal harga normalnya berkisar Rp 700 per kilogram.
"Inikan harga yang tidak masuk akal. Dari Rp700 ke Rp5.600 per kilogram. Ini bagaimana cara menjualnya di pasaran?" katanya.
Yohannes mengaku sudah melakukan kordinasi dengan KKP, dan mereka menjawab dalam waktu dekat akan panen. Menurut Yohannes, jawaban dari KKP ini dinilai tidak masuk akal karena kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi. Belum lagi mengenai hitung-hitungan secara bisnis, jika benar bulan depan panen, tidak mungkin harga garam yang sekarang Rp 5.400 per kg, kemudian karena panen akan bisa turun menjadi harga standar atau normal, yaitu Rp 700 per kg atau anggap menjadi Rp 1.000 per kg, seperti yang selama ini terjadi.
"Kalau harga sekarang Rp 5.400 per kg, kan tidak mungkin harga itu akan turun normal, paling menjadi Rp 5.000 per kg, atau maksimum Rp 5.500 per kg. Itu belum termasuk biaya-biaya lain, karena garam itu kan diproduksi, tentunya butuh dicuci, listriknya bagaimana, terus pegawainya seperti apa," tegasnya.
Untuk itu, pihaknya berharap ada keseriusan pemerintah untuk segera memberikan solusi terhadap permasalahan industri garam nasional tersebut. kbc7
Bos SIG Raih The Best CEO di Ajang Top BUMN Awards 2023
Siap-siap! Penyatuan NIK Jadi NPWP Berlaku Penuh Mulai Pertengahan 2024
SIG Raih Apresiasi Marketeer of the Year 2023
Domscorner Berdayakan UMKM hingga Warga Lokal via Marketplace Produk Fesyen
Ketua DK LPS: Transformasi dan Penambahan Mandat untuk Penguatan Peran dan Fungsi LPS