Pengusaha adalah pejuang ekonomi, jangan dikriminalisasi

Selasa, 9 Februari 2016 | 17:44 WIB ET
(KB/Purna Budi Nugraha)
(KB/Purna Budi Nugraha)

SURABAYA, kabarbisnis.com: Sebanyak 28 asosiasi di seluruh Jawa Timur berkumpul dan mengeluhkan adanya berbagai kasus dan persoalan yang membelit mereka. Salah satu yang cukup serius dikeluhkan adalah tidak adanya perlindungan hukum dan keberpihakan pemerintah terhadap pelaku ekonomi dalam menjalankan bisnis mereka. Padahal pengusaha adalah pejuang masa kini yang berkontribusi meningkatkan perekonomian masyarakat. Bahkan ada banyak persoalan yang akhirnya menyeret pengusaha dalam kasus hukum.

"Kami semua asosiasi yang berhimpun di Kadin menolak segala bentuk kriminalisasi yang berlindung dibalik topeng penegakan hukum, karena hal ini akan berdampak luas terhadap daya saing dan pertumbuhan ekonomi nasional," tegas Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Dedy Suhajadi di graha Kadin Jatim, Surabaya, Rabu (8/2/2016).

Dengan kondisi tersebut, maka iklim ekonomi menjadi tidak kondusif. Harusnya seluruh stake holder dan aparat penegak hukum harus pro bisnis. Karena persoalan mereka sudah sangat banyak. Jika harus dipaksa memikirkan hukum dan lainnya, maka mereka tidak akan sempat memikirkan bisnis mereka.

Ketua Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Indonesia Jawa Timur, Khoiri Soetomo mengatakan sejauh ini industri dalam negeri sudah menghadapi banyak persoalan. Dalam pertemuan yang dilakukan itu tercatat, beberapa asosiasi mengeluhkan ketidakberpihakan regulasi atau aturan terhadap pengusaha. Sektor konstruksi misalnya, banyak pimpro yang akhirnya takut melangkah karena khawatir dikriminasisasikan.

"Keberpihakan pemerintah memang setengah hati. Untuk pelaksanaan paket kebijakan ekonomi misalnya, daerah masih belum terdengar. Dan kalau hitung-hutungan, untuk UMK, kalkulator yang digunakan adalah kalkulator politik, sehingga pengusaha tergencet dan ini akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan perusahaan. Justru ini akan membunuh nasib buruh karena akan terjadi PHK," ujarnya.

Kondisi yang sama juga dirasakan oleh Gabungan Pengusaha Rokok. Ketua Gapero Surabaya, Sulami Bahar mengatakan, keberpihakan pemerintah hanya sebatas di atas kertas. Sementara kondisi di lapangan justru sebaliknya. Untuk pengurusan Nomor Induk Kepabeanan (NIK) ekspor rokok misalnya, tiga minggu masih belum selesai.

"Asing diberi karpet merah dan dijanjikan perijinan hanya 3 hari sementara lokal diinjak-injak. Ini saya alami sendiri, saya mengurus NIK untuk ekspor rokok ke Singapura tidak selesai-selesai hingga tiga minggu," keluhnya.

Dengan banyaknya aturan yang menggencet usaha rokok, maka di tahun 2015 jumlah pekerja yang dirumahkan mencapai sekitar 10.000 orang. Sementara di tahun 2016 sudah ada wacana terjadinya PHK hingga ribuan tenaga kerja di beberapa pabrik rokok di Jatim.

Pada kesempatan tersebut, pengusaha juga mengeluhkan ketidaktransparan pajak yang dibebankan. Mereka mengatakan bahwa sistem perpajakan yang berlaku sekarang dirasa snagat memberatkan pelaku usaha sebagai wajib pajak. Untuk itu, pengusaha berharap adanya harmonisasi sistem perpajakan yang berpihak kepada pengusaha agar bisa tetap bertahan dan berdaya saing tinggi.

"Tahun lalu pemerintah mentargetkan pendapatan dari pajak mencapai Rp 1.300 triliun dan saat itu pengusaha banyak yang menjadi korban. Disaat penyerapan APBN sangat rendah dan pengusaha dalam kondisi yang sulit, mereka justru dipacu untuk menutup target tersebut. Harmonisasi dalam kebijakan perpajakan harus ada. Kalau mau ambil telurnya silahkan, jangan matikan ayamnya. Kalau mau ambil buahnya silahkan, jangan potong pohonnya," tambah Khoiri.kbc6

Bagikan artikel ini: