Defisit anggaran berpotensi kuat lampaui 3%, ini analisa Indef

Jum'at, 10 November 2017 | 20:48 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah berpotensi kuat mengalami shortfall pajak atau penerimaan negara yang jauh dari target. Bahkan diprediksi shortfall pajak dapat mencapai lebih dari Rp150 triliun .

Hal ini membuat defisit anggaran yang dipatok oleh perundang-undangan tidak boleh melebihi dari 3 %."Kondisi penerimaan negara ini sangat mengkawatirkan. Karena shortfall-nya bisa melebihi dari Rp 150 triliun. Mau dari mana pemerintah mencarinya," tandas ekonom Indef  Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Jumat (10/11/2017).

Dengan shortfall yang besar itu,menurut Bhima pemerintah dipastikan akan semakin panik dalam mencari pemerimaan itu. Pasalnya, tidak ada potensi penerimaan yang signifikan sepertihalnya tax amnesty seperti tahun 2016 lalu.

Dengan kondisi demikian artinya, defisit APBN bisa tembus di atas 3%. "Kebijakan pemerintah dapat jadi akan serampangan atau akan banyak menutupnya dengan utang baru," terang Bhima.

Hingga akhir tahun diprediksi banyak pihak penerimaan negara hanya akan mencapai 91,8% dari target atau cuma Rp 1.177,95 triliun.Apalagi beberapa kontribusi dari sektor-sektor itu kurang memuaskan. Hingga Oktober 2017, PPh non migas hanya tercapai Rp 459,94 triliun atau 61,97% dari target.

Kemudian PPN dan PPnBM tercapai Rp 347,47 triliun atau 73,07 % dari target. Sedangkan PBB tercapai Rp 2,94 triliun atau 19,08 % dari target. Pajak lainnya Rp 5,54 triliun atau 63,74 % dari target.

Sementara untuk PPh migas tercapai Rp 42,19 triliun atau 101,03 % dari target. PPh migas tumbuh positif 51,85%. Apabila disimpulkan, maka dalam sisa waktu kurang dari dua bulan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus mengejar penerimaan pajak yang kurang Rp 425,46 triliun.

Bhima berharap Presiden Jokowi tidak memaksakan diri untuk menggenjot infrastruktur. Langkah terbaik adalah dengan sesegera mungkin memotong belanja. "Paling baik adalah menunda penyelesaian beberapa proyek infrastruktur barang sampai dua tahun," terangnya.

Menurut Bhima jauh lebih penting menjaga stabilitas makro ekonomi yang sudah dengan susah payah terjaga. Bahkan dengan ongkos yang mahal pula. "Terlalu riskan dan mahal ongkosnya demi mengamankan proyek infrastruktur," pungkasnya.kbc11

Bagikan artikel ini: