Perpres Tenaga Kerja Asing dinilai cacat hukum, ini alasannya

Sabtu, 7 April 2018 | 21:47 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Kemudahan izin Tenaga Kerja Asing (TKA) melalui Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 dinilai sarat akan pelanggaran hukum. Pasalnya, banyak poin di dalam beleid yang bertentangan dengan aturan dasarnya, yaitu Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Hal itu dikemukakan Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Jumat (6/4/2018). Menurutnya, salah satunya, pasal 10 Perpres TKA yang berbunyi bahwa persetujuan Rencana Penggunaan TKA (RPTKA) tidak dibutuhkan bagi TKA pemegang saham, pegawai diplomatik, dan jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah. Padalah, pasal 43 UU Ketenagakerjaan menyebut pemberi kerja harus mendapatkan persetujuan RPTKA.

Selain itu, pasal 42 UU Ketenagakerjaan juga mewajibkan setiap TKA memiliki izin tertulis dari Kementerian Ketenagakerjaan. "Jadi, izin kerja TKA ini otomatis. Seharusnya, aturan ini tidak boleh dilanggar oleh Perpres. Namun nyatanya, aturan ini muncul di dalam Perpres," ujarnya.

Tidak berhenti di RPTKA, ia juga menyoroti pasal 22 Perpres yang diteken Presiden Joko Widodo itu. Pasal itu menyebut TKA bisa menggunakan jenis visa tinggal sementara (vitas) sebagai izin bekerja untuk hal-hal yang bersifat mendadak. Vitas merupakan syarat mutlak bagi TKA untuk mendapatkan Izin Tinggal Sementara (itas) yang izinnya dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dengan kata lain, kini persetujuan TKA masuk ke Indonesia bisa melalui dua pintu, yakni Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Hukum dan HAM. Padahal, menurut UU Ketenagakerjaan, izin hanya boleh diberikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

"Jadi, memang kalau dilihat secara substansi, ada pelanggaran terhadap aturan sebelumnya, yakni UU Ketenagakerjaan," imbuh Timboel.

Karena bertentangan dengan konstitusi, ia bilang bahwa Perpres permudahan izin TKA ini rawan untuk digugat ke Mahkamah Agung (MA). Apalagi, sejauh ini alasan pemerintah merelaksasi izin TKA demi investasi dianggap lagu lama.

Ia ingat sekali, kala UU Nomor 13 Tahun 2003, pemerintah beralasan untuk meningkatkan investasi. Kemudian, ketika Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014 diterbitkan tentang permudahan tenaga kerja asing dikeluarkan, alasan yang dikemukan pemerintah lagi-lagi atas dasar investasi.

Dengan berulang kalinya aturan TKA ini diubah, bisa disimpulkan bahwa sulitnya TKA bukan menjadi biang keladi pertumbuhan investasi.

Saat ini, lanjut Timboel, OPSI tengah mengkaji dampak Perpres ini dalam tiga bulan ke depan sebelum memutuskan untuk mengajukan uji materiil ke MA. Namun, ada baiknya pemerintah berinisiatif mengubah UU Ketenagakerjaan daripada aturan-aturan turunannya bertabrakan dengan konstitusi dasarnya.

"Karena aturannya sudah tidak sesuai dengan pasal 42 hingga 49 UU Ketenagakerjaan, ada baiknya direvisi saja UU-nya," pungkas dia.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri meminta masyarakat tidak resah dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang mempermudah perizinan TKA untuk bekerja di Indonesia. Toh, pemerintah masih melindungi pekerja asing dari berbagai jenis pekerjaan yang bisa dipenuhi kompetensi lokal.

Menurutnya, ini sudah sesuai dengan pasal 4 beleid tersebut, di mana setiap pemberi kerja TKA wajib mengutamakan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. Pekerjaan tertentu baru bisa diberikan ke TKA jika memang kapabilitas pekerja Indonesia kurang mumpuni.

"Sekali lagi, khawatir boleh. Tapi jangan terlalu khawatir. Percaya kepada pemerintah bahwa kami memiliki skema pengendali yang jelas. Yang masuk tetap memiliki kualifikasi dan yang pekerja kasar juga tetap dilarang. Ini demi investasi dan lapangan kerja juga makin banyak," kata Hanif di Kompleks Istana Kepresidenan. kbc10

Bagikan artikel ini: