RI berpotensi jadi negara paling siap kembangkan fintech syariah, ini alasannya

Senin, 9 Juli 2018 | 06:41 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Indonesia dinilai menjadi negara yang paling siap untuk mengembangkan industri financial technology (fintech) syariah. Meski saat ini jumlah perusahaan yang terdaftar masih sedikit, tetapi dukungan regulator telah mendorong pertumbuhan industri tersebut.

Ketua Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) Ronald Yusuf Wijaya menilai regulator sudah memberikan dukungan yang cukup untuk mendorong pertumbuhan industri fintech syariah dengan memberikan keleluasaan setiap perusahaan untuk mendaftar.

Dia menjelaskan dari 6 perusahaan fintech syariah di Malaysia, baru 1 yang mendapat lisensi dari regulator. Adapun regulator tidak membatasi jumlah fintech yang terdaftar, asalkan memenuhi syarat yang berlaku dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

“Aneh kan? Padahal (Malaysia) negara muslim. Di sana, pemerintah hanya mau mengeluarkan enam izin setiap tahun, sedangkan di Indonesia tidak ada batasannya. Seharusnya kita siap untuk menjadi hub finansial keuangan syariah dunia,” ujar Ronald belum lama ini.

Sementara itu, fintech syariah pun disebut belum terlalu berkembang di Timur Tengah.

Data forum fintech syariah internasional, IFN Fintech, menunjukkan ada sekitar 100 fintech berbasis syariah di dunia. Sebanyak 46% berada di Asia dan 23% berada di negara Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa/MENA).

Hingga akhir Juni 2018, OJK mencatat ada 64 perusahaan fintech berbasis peer-to-peer (P2P) lending. Untuk yang berbasis syariah, sudah ada tiga perusahaan yang terdaftar yakni PT Ammana Fintek Syariah (Ammana), PT Dana Syariah Indonesia (Dana Syariah), dan PT Investree Radhika Jaya (Investree).

Sejak berdiri lima bulan yang lalu, saat ini anggota AFSI telah mencapai 45 perusahaan.

Ronald melanjutkan hingga awal Juli 2018, terdapat lima perusahaan fintech syariah yang sedang mengantre untuk mendapatkan bukti terdaftar dari OJK. Di antaranya adalah Ethis Indonesia, Syarfi, Kapital Boost, Danaku Syariah, dan Syarq.

Kendati demikian, industri fintech syariah dalam negeri masih dihadapkan dengan sejumlah tantangan. Tantangan terbesar adalah rendahnya edukasi kepada masyarakat.

Bahkan, menurut AFSI, masih banyak masyarakat yang belum memahami industri fintech. Selain itu, proses pendaftaran yang jauh lebih rumit juga dinilai menjadi tantangan.

“Kalau kami mau daftar, kami harus lari dulu ke Direktorat Industri Keuangan Non Bank Syariah OJK untuk dicek dulu semua akadnya. Lalu, kami juga diminta untuk Dewan Syariah Nasional [DSN] jadi pekerjaan rumah tambah banyak. Kami berharap pemerintah dapat mendukung supaya ada percepatan,” tuturnya. kbc10

Bagikan artikel ini: