Investasi besar-besaran jadi satu-satunya solusi atasi defisit migas dalam negeri

Rabu, 6 Februari 2019 | 22:05 WIB ET

SURABAYA, kabarbisnis.com: Pengamat Ekonomi Yopie Hidayat mengatakan bahwa trend produksi minyak dan gas (migas) dalam negeri terus merosot. Bahkan defisit migas dalam negeri cukup besar. Pada 2018, produksi minyak dalam negeri hanya sekitar 750 ribu barrel per hari (barrel oil per day/BOPD). Padahal kebutuhan minyak dalam negeri mencapai 1,6 juta BOPD.

Untuk mencukupinya, Indonesia harus impor migas sekitar US$12,4 miliar sepanjang 2018, angka tersebut naik 44 persen dibanding 2017. Nilai impor migas ini menjadi sumber defisit yang paling besar bagi anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) 2018.

Sementara eksplorasi migas sejak 2014 terus turun. Pemboran sumur eksplorasi migas pada tahun 2018 sebanyak 21 sumur dari target 104 sumur. Jumlah tersebut menjadi yang terendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pengeboran eksplorasi sejak 2014 -2017 masing-masing mencapai 64, 33, 34, dan 54 sumur.

“Dalam neraca perdagangan, kita tekor sangat besar karena kebutuhan migas. Untuk mengatasi kondisi ini, jalan keluar satu-satunya hanya investasi besar-besaran di sektor migas,” tegas Yopie Hidayat yang pernah menjabat sebagai Juru Bicara Wapres Boediono, saat Rembug Migas dan Media dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019 dan Ultah Persatuan Wartawan lndonesia ke 73 di Surabaya, Rabu (6/2/2019).

Sementara itu, Kepala SKK Migas Jawa Bali Nusa Tenggara (Jabanusa), Ali Masyhar mengatakan saat ini investasi di industri migas masih banyak menemukan hambatan sehingga terkesan lambat, utamanya hambatan atau gangguan sosial yanga cukup mengganggu rencana produksi migas.

"Kami ingin agar masyarakat, maupun pemda paham informasi dan kondisi migas saat ini, karena migas ini bukan hanya masalah negara tapi masalah individu juga karena setiap orang mengkonsumsi minyak dan gas untuk kebutuhan energi," jelasnya

Dia mengatakan dukungan dari pemerintah maupun masyarakat dalam meningkatkan industri migas ini diharapkan bisa menarik investor untuk ikut menjalankan program eksplorasi, eksploitasi maupun tertarik untuk membangun kilang minyak di Indonesia, khususnya Jawa Timur sebagai kontributor terbesar produksi hulu migas. "Kalau investor tertarik, maka pendapatan negara juga akan baik dan semua pihak akan ikut menikmati hasilnya," tambahnya.

Diungkapkan Ali Masyhar, industri migas masih menjadi obyek vital nasional strategis. Hingga hari ini, penerimaan negara dari sektor migas masih menduduki nomor kedua terbesar setelah pajak. Pada 2018, di tengah lesunya harga minyak dunia, sektor migas masih mampu menyumbang Rp 240 triliun terhadap penerimaan negara.

“Bahkan sumbangan dari BUMN se Indonesia, tidak ada ¼ nya dari sumbangan migas. Hari ini APBN masih sangat merindukan dan membutuhkan penerimaan dari migas. Migas masih jadi katalisator, pendorong tumbuhnya ekonomi lainnya. Dan 5 tahun hingga 10 tahun kedepan Jatim masih jadi tumpuan migas terbesar di Indonesia. Untuk itu, kami berharap media turut mendorong agar semua elemen mulai dari masyarakat hingga pemerintah memberikan dukungan sepenuhnya terhadap perkembangan sektor migas,” pungkasnya.kbc6

Bagikan artikel ini: