Pelaku usaha dukung pemerintah jembatani gap harga EBT

Jum'at, 15 November 2019 | 17:57 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Dalam seminar Indo EBTKE Conex 2019 yang berlangsung di Jakarta pekan lalu,  Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, F.X Sutijastoto mengatakan, saat ini pemerintah sedang memperbaiki kebijakan harga EBT dan diharapkan Perpresnya sudah bisa diteken awal tahun depan.

Kebijakan harga baru tersebut dimaksudkan untuk memastikan percepatan pengembangan EBT berjalan dengan baik, khususnya guna mengurangi neraca perdagangan yang defisit. Dirjen Toto menyatakan bahwa kebijakan energi ke depan akan berlandaskan pada 3 pilar, yaitu energy equity, environmental sustainability, dan energy security. 

Atas pernyataan Dirjen EBTKE tersebut, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi  menyambut gembira dan menyatakan, pemerintah memang harus turun tangan secara total dalam menjembatani kesenjangan tersebut

“Tidak bisa diperlakukan dalam hubungan B2B antara PLN dengan pengembang lagi, karena kedepannya yang akan menikmati energi bersih adalah masyarakat. Bagaimana pun juga, kami paham dalam menentukan harga beli, PLN punya undang-undang sendiri,” ujarnya. 

Menurut Prijandaru, sejak awal ikut berkontribusi dalam pengembangan industri EBT di Tanah Air,  kendala pokok yang dihadapi para pengembang listrik panas bumi adalah masalah harga yang tidak pernah mendapatkan titik temu. Pasalnya, harga keekonomian proyek panas bumi yang dihitung para pengembang selalu ada di atas daya beli PLN yang diukur dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP).

“Masalahnya klise dari dulu. Bagaimanapun pengembang wajib untung dan mendapat margin dari harga proyek. Sementara PLN untuk menentukan harga juga punya undang-undang sendiri dan mereka juga diwajibkan mendapat untung dari pemerintah,” ujarnya.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma mendukung peninjauan kembali (PK) pengaturan pembelian tenaga listrik dari EBT yang telah ditetapkan pemerintah paling tinggi 85% dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.  Selain itu, dia juga mendukung pemberlakukan sistem tarif tetap, bukan negosiasi seperti yang selama ini  berlaku dan dinilai memberatkan PLN.

“Masalah harga merupakan salah satu tantangan pengembangan EBT yang harus kita pecahkan. Penetapan skema 85 persen dari BPP sangat tidak fair, dan kedua, dengan pola negosiasi, kita tidak tahu kapan itu bisa terjadi. Jadi kami maklum kalau PLN tidak mau dengan kedua pola tersebut,” paparnya. 

Surya juga memberikan apresiasi atas dukungan DPR Komisi VII yang telah menyatakan akan konsisten melakukan review terhadap regulasi-regulasi yang ditetapkan pemerintah, demi mendukung lahirnya  RUU Energi Terbarukan yang telah masuk Prolegnas tahun 2019.   

“Hal itu merupakan dukungan terhadap pengembangan energi terbarukan dan telah menyerap aspirasi dari berbagai pihak,” ucapnya. 

Dalam hal ini, dia berharap pemerintah konsisten untuk tidak mengubah-ubah regulasi  terus, karena akan menciptakan ketidakpastian di bidang hukum dan bisnis. 

Surya menyatakan, sejauh ini METI sebagai wadah bersatunya para pelaku industri EBT konsisten mendukung program pengembangan dan percepatan EBT menuju target 23 persen di tahun 2025.

“Ini kan bagian dari target transisi, karena seluruh dunia sedang menuju pengalihan energi rendah karbon. Kalau target itu tidak segera dilaksanakan, kita bisa langsung kolaps,” ujarnya.

Surya berpendapat  potensi EBT yang masih sangat besar semestinya  bisa dilihat sebagai peluang bisnis baru. “Sampai akhir 2018, energi terbarukan hanya menyumbang 8,6 persen dalam bauran energi nasional. Kami akan terus mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan menuju 23 persen pada tahun 2025 dan menjadi 30 persen pada tahun 2050,” ujar Surya seperti dikutip dari Petrominer.com.

Menurut Surya, idealnya pada tahun 2025 kita sudah bisa merealisasikan  penggunaan listrik sumber EBT sebesar 45 GW, baik dari PLN maupun dari pihak swasta.  “Artinya  dalam kurun 5 tahun ke depan, kita semestinya bisa menambah listrik EBT sebesar 9,9GW,” ujarnya. 

Persoalannya, ucap dia, untuk pengembangan dan percepatan tersebut, kemampuan negara kan juga terbatas. Oleh karena itu perlu kolaborasi dari berbagai pihak. Dan untuk mengajak swasta ikut berinvestasi, sudah tentu perlu daya tarik sendiri.

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan EBT.  Sumber energi terbarukan di Indonesia bisa dikategorikan ke dalam enam kluster yaitu panas bumi, air, angin, bio energi, matahari, dan laut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut, potensi listrik sumber EBT Indonesia mencapai 400 GW, namun realisasinya baru sebesar 32GW. 

Perihal potensi energi panas bumi, Prijandaru memberikan data, saat ini potensi panas bumi Indonesia mencapai 25 ribu MW (25 GW), namun yang terpakai baru 2000MW (2 GW). Masalahnya, kendati sumbernya berlimpah seperti energi fosil, satu-satunya konsumen panas bumi di Indonesia hanyalah PLN, karena gas bumi tidak mungkin diekspor.

Sumber energi panas bumi di Indonesia sendiri mencapai lebih dari 300 titik di seluruh Indonesia. Cadangan panas bumi di Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia. 

Oleh karena itu tidak heran kalau tahun 2025 nanti, pemerintah sudah memasang target pengembangan panas bumi sebesar 7,5 GW. “Masalahnya bagaimana mengejar dari 2GW menuju 7,5GW itu dalam 5 tahun?” lanjut Prijandaru. kbc10

Bagikan artikel ini: