Apindo Usulkan Dua Mitigasi Ini ke Pemerintah Antisipasi Dampak Konflik Iran-Israel

Jum'at, 19 April 2024 | 19:24 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai, dampak konflik Iran-Israel paling tidak terdapat dua hal yang harus dimitigasi pemerintah atas ketidakstabilan ekonomi global akibat kondisi konflik geopolitik saat ini.

"Paling tidak 2 hal yang harus dimitigasi. Pertama, terganggunya rantai pasok ekonomi, yang akan mengakibatkan kenaikan harga atas komoditas impor, termasuk bahan baku, minyak, maupun ongkos logistik," ujar Ajib di Jakarta, Jumat (19/4/2024).

Menurut Ajib, hal ini akan memicu kenaikan HPP (Harga Pokok Penjualan) sehingga akan mengeskalasi inflasi. Adapun sepanjang tahun 2023, inflasi di Indonesia masih dalam rentang kendali sesuai dengan kerangka ekonomi makro yang disusun, dan secara agregat di akhir tahun 2023 hanya di kisaran 2,6%.

Ajib menerangkan, inflasi sepanjang tahun 2024 diproyeksikan 2,5% plus minus 1%, artinya inflasi masih bisa ditoleransi sampai dengan 3,5%. Kondisi kenaikan harga komoditas impor akan memberikan sentimen negatif dalam inflasi.

Selanjutnya, menurut Ajib dampak kedua yang harus dimitigasi yaitu, kebijakan ekonomi Amerika imbas kondisi geopolitik yang ada, yaitu cenderung akan menahan tingkat suku bunga The Fed.

"Sebelumnya pasar mempunyai ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan. Kebijakan moneter Bank Sentral Amerika ini menjadi patron dominan Bank Indonesia (BI) dalam membuat kebijakan moneter nasional," jelasnya.

Ajib menyampaikan ketika tingkat suku bunga The Fed tinggi, akan terjadi potensi crowding out atau capital outflow sehingga semakin memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Di sisi lain, menyampaikan tingkat suku bunga tinggi, akan mengurangi likuiditas keuangan di kegiatan perekonomian. Menurut Ajib, hal tersebut akan membuat kondisi yang dilematis dari sisi moneter.

Karenanya, dia melihat, konflik Iran-Israel yang semakin memanas akan menambah panjang daftar scaring effect usai pandemi Covid-19 yang dalam tahap pemulihan. "Dampak secara global akan memberikan pengaruh trickle down effect terhadap ekonomi nasional," ujarnya.

Sebab itu, menurut Ajib, perlu melihat indikator-indikator ekonomi makro Indonesia, untuk mengukur ketahanan dalam mengahadapi ketidakpastian global ini dan paling tidak ada 4 hal yang perlu kita perhatikan.

Ajib menyampaikan, indikator pertama yaitu berasal dari tren pertumbuhan ekonomi. Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang cukup agresif pasca pandemi, bahkan diatas 5 persen. Adapun pada ahun 2023 mencapai angka 5,05 persen dan diproyeksikan akan mencapai kisaran 5,2 % secara agregat di akhir tahun 2024.

"Kedua, Inflasi. Dengan selisih ekspor-impor yang masih positif, potensi eskalasi inflasi akibat bahan baku impor, diprediksi masih akan dalam rentang daya tahan inflasi, dan sampai akhir tahun 2024 tidak melebihi 3,5%," tuturnya.

Ajib bilang, indikator ketiga berasal dari Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita. Adapun pada Tahun 2023 Indonesia mempunyai PDB sebesar Rp 20.892,4 triliun. Angka ini masuk ke dalam 16 besar dunia dengan jumlah penduduk sekitar 280 juta orang atau nomor 4 besar dunia, sehingga PDB perkapita Indonesia mencapai Rp 75 juta atau setara 4.919 dolar AS.

"Dengan PDB yang masih nomor 16, sedangkan jumlah penduduk nomor 4, maka potensi ekonominya masih sangat besar," tuturnya.

Adapun indikator keempat yaitu keseimbangan primer keuangan negara. Ajib menyebut, kondisi neraca keuangan negara masih dalam keseimbangan primer yang positif, artinya total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran hutang, masih positif.

 

"Hanya, yang perlu dicermati adalah, ketika pemerintah membuat proyeksi nilai tukar rupiah dalam kisaran Rp15.000, maka pembayaran hutang luar negeri akan mengalami kenaikan, ketika rupiah terus melemah dibandingkan dolar," jelasnya.

Ajib mengatakan, pemerintah perlu fokus dalam 3 hal utama untuk penguatan ekonomi dalam negeri yaitu hilirisasi, orientasi ekspor dan substitusi impor, serta peningkatan kualitas investasi yang bisa lebih menyerap tenaga kerja.

"Dengan beberapa indikator yang ada, ekonomi nasional masih cenderung bagus dan bertahan positif dalam ketidakpastian global, sepanjang pemerintah konsisten mendorong program-program yang pro dengan pertumbuhan ekonomi dalam negeri,"pungkasnya. kbc11

Bagikan artikel ini: