Pertumbuhan ekonomi RI sulit lampaui 5 persen, ini penyebabnya

Senin, 3 Juli 2017 | 10:25 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan stagnan atau sama dengan tahun lalu, yakni di level 5%. Pasalnya, Ramadan dan Lebaran yang jatuh di kuartal kedua tahun ini pun belum mampu mendorong geliat pertumbuhan ekonomi.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Hartati mengatakan, dua faktor yang menjadi indikator utama pendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu konsumsi rumah tangga dan investasi swasta hingga kuartal II/2017, diperkirakan masih tetap stagnan seperti tahun lalu. Konsumsi rumah tangga dipengaruhi retail memang tumbuh 6% karena ada Ramadan dan Idul Fitri.

“Untuk penjualan pangan ada kenaikan dibanding bulan sebelumnya. Tapi, dibandingkan Lebaran 2016, konsumsi rumah tangga hampir sama,” kata Enny, akhir pekan lalu.

Sementara untuk investasi swasta yang dipengaruhi oleh pembiayaan dan penyaluran kredit hingga kuartal II/2017, menurutnya, hanya tumbuh di angka 7% atau masih stagnan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Melihat kedua hal tersebut, agak pesimistis pertumbuhan ekonomi bisa lebih dari 5%, walau ada Ramadan dan Lebaran di kuartal kedua,” ungkapnya. Lebih lanjut dia menyebutkan pertumbuhan sektor industri masih terbatas karena impor bahan baku yang masih minus. Jika pertumbuhan sektor industri hanya berada di angka 4,3-4,4%, pertumbuhan ekonomi nasional, menurutnya, masih tetap di angka 5,1%.

Sebab, pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama masih di angka 5,01%. “Ramadan dan Lebaran belum bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara di kuartal ketiga tidak ada momen penting, paling ada lagi di kuartal keempat pada saat Natal dan Tahun Baru,” jelasnya. Menurut Enny, dunia industri, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di berbagai daerah pun kondisinya jauh lebih parah.

UMKM, menurutnya, sulit untuk melanjutkan usahanya. Sumber pertumbuhan diharapkan dapat didorong melalui konsumsi rumah tangga. Namun, itu juga harus didorong dengan pendapatan yang layak. “Pemerintah tidak bisa memberi stimulus karena ada rencana pemangkasan anggaran kementerian, belum lagi dihapusnya sebagian subsidi listrik, ini yang harus diantisipasi pemerintah,” ungkapnya.

Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menambahkan, kondisi ketidakpastian ekonomi global juga berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini mengalami stagnasi. Hal ini, menurutnya, diperparah oleh kebijakan ekonomi yang pragmatis pemerintah. “APBN memang digenjot, tapi masalah lain muncul soal efektivitas serapan dan kondisi stabilitas politik hukum,” katanya.

Prediksi saya untuk pertumbuhan 2017 tidak akan melewati 5%. Bahkan, pada 2018 juga sekira 5% plus-minus 0,2% yang artinya bisa 4,9% atau 5,1%. “Situasinya betul-betul penuh ketidakpastian,” ujarnya. Dia menambahkan, kebijakan moneter pemerintah dan kredit perbankan sejauh ini tidak ada yang prorakyat kecil yang jumlahnya mayoritas.

Sementara belanja modal pemerintah di sektor infrastruktur, menurutnya, cenderung padat modal. Hal itu terlihat dari pengerjaan proyek menggunakan teknologi tinggi sehingga serapan tenaga kerja relatif tidak berubah. Sementara kredit perbankan, menurutnya, mayoritas disalurkan bukan ke masyarakat kecil.

“Akhirnya kekayaan hanya terjadi di lingkungan atas dan tidak menetes ke bawah. Pemerintah terlalu pragmatis dalam mencari solusi, itu tidak akan membuat kita keluar dari krisis dan ketidakpastian,” ujarnya. Sementara Chief Economist di SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi berpendapat lain. Dia mengatakan, keliru jika menyebut pertumbuhan ekonomi tahun ini stagnan.

Menurut dia, di tengah tantangan penurunan harga komoditas, perekonomian nasional masih bisa tumbuh di kisaran 5%-5,2% tahun ini. “Angka pertumbuhan 5% plus ini cukup baik di tengah masih tertekannya harga komoditas, walau harga komoditas energi kini lebih tinggi dari tahun lalu,” ujar Eric. Dia pun optimistis perekonomian nasional untuk tahun depan bisa tumbuh di kisaran 5,3%-5,5% karena ada faktor belanja jelang pemilihan umum (pemilu) 2019.

Sementara inflasi nasional di akhir tahun, menurutnya, diprediksi hanya sekira 4%. “Tidak terlalu tepat menyebut ekonomi nasional akan seburuk itu,” tuturnya. Prediksi memburuknya keadaan ekonomi nasional tahun ini sebelumnya diungkapkan pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng.

Dia menilai ekonomi tahun ini memburuk antara lain disebabkan pemangkasan anggaran tahun lalu menimbulkan ketidakpastian karena penganggaran APBN yang tidak realistis. Defisit APBN tahun ini pun menurut dia akan meningkat dari 2,4% PDB pada 2016 menjadi 2,6% PDB. Itu pun dengan asumsi penerimaan pajak tercapai.

Jika tidak, defisit bisa berada di atas 3%. Di bagian lain, penjualan retail yang merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi, menurut dia, menurun tajam menjadi 4,6% sampai dengan Mei dibandingkan rata-rata pertumbuhan kuartal II/2016 sebesar 9,5%. kbc10

Bagikan artikel ini: