Utang rill 143 BUMN capai Rp2.448 triliun, pemerintah sebut aman!

Selasa, 4 Desember 2018 | 20:25 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan utang perusahaan plat merah masih dalam status aman. Utang riil total 143 perusahaan plat merah hingga kuartal III 2018 sebesar Rp 2.448 triliun.

Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro menanggapi berbagai pemberitaan yang menyebut bahwa utang BUMN menembus angka Rp 5.271 triliun."Orang menilai Rp 5.271 triliun itu semua utang, padahal angka tersebut masih mengikutsertakan dana pihak ketiga (DPK), cadangan premi, dan utang lain yang sifatnya talangan," kata Aloysius di Jakarta, Selasa (4/11/2018).

Aloysius menjelaskan secara aktuaris, cadangan premi, utang pegawai, dan dana talangan memang dianggap sebagai utang, tetapi secara riil, sifatnya tidak sama seperti pinjaman berbunga yang diberikan oleh kreditur.Ia menegaskan pinjaman yang sifatnya talangan tidak dapat disebut sebagai utang riil karena sifatnya sementara dan ada jaminan pasti akan dibayar setelah proyek tuntas.

"Misalnya, banyak perusahaan konstruksi yang melakukan pre-financing, menalangi terlebih dahulu biaya-biaya yang diperlukan sebelum anggaran turun untuk memulai proyek pembangunan. Contohnya saja dalam pembuatan jalan tol, kontraktor butuh meminjam dulu uang dari bank untuk pembebasan lahan," sebut Aloysius

Secara total, utang keseluruhan perusahaan negara mencapai Rp 5.271 triliun dengan rincian Rp 3.300 triliun berasal dari himpunan bank negara (Himbara) dan sisanya datang dari BUMN nonkeuangan.Namun, dari utang sektor keuangan yang mencapai Rp3.300 triliun, sebanyak 75% merupakan Dana Pihak Ketiga (DPK).

"Porsi simpanan DPK itu secara hitungan memang utang, tetapi itu konsepnya simpanan. Tidak harus dibayar kembali kecuali nasabah menarik uang mereka," ujarnya.

Ia menekankan pemerintah senantiasa mengawasi neraca keuangan BUMN termasuk ketika mencari pendanaan melalui perbankan dan pasar modal, baik dari pasar domestik maupun global. Pengawasan tersebut dilakukan secara teliti demi menjaga kinerja keuangan yang sehat.

"Kementerian BUMN melalui setiap kedeputian teknis selalu memonitor aksi-aksi korporasi BUMN yang mencari pendanaan. Bentuk nyata monitoring diantaranya adalah dengan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaa (RKAP) dan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) setiap perusahaan," ujar Aloy.

Selain itu, lanjutnya, dari sisi eksternal masing-masing BUMN juga dibantu oleh lembaga rating domestik dan internasional yang dapat menilai kemampuan dalam melakukan leveraging dan dalam mendapatkan pinjaman luar negeri.

Kemudian, setiap kali melakukan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN), BUMN selalu berkoordinasi dan meminta persetujuan tiga badan pemerintah yakni Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian.

Mengacu pada data Bursa Efek Indonesia, rasio Debt to Equity BUMN tiap-tiap sektor masih berada di bawah rata-rata Debt to Equity industri.Misalnya sektor transportasi, rasio DER BUMN sebesar 1,59 kali sementara rata2 industri berada di posisi 1,96 kali. Sektor energi, BUMN 0,71 kali, sementara rata-rata industri 1,12 kali. Sektor telekomunikasi, DER BUMN di posisi 0,77 kali, sementara industri pada posisi 1,29 kali.

Adapun BUMN perbankan yang sedikit di atas industri yaitu sekitar 6 kali, dimana rata-rata industri sebesar 5,66 kali. Begitu pun dengan sektor properti dan konstruksi, DER BUMN mencapai 2,9 kali sedangkan rata-rata industri sekitar 1,03 kali."Hal tersebut menggambarkan peningkatan ekspansi dalam pembangunan infrastruktur di dalam negeri," tegas Aloy.

Kementerian BUMN pun terus mendorong perseroan untuk berinovasi dalam mencari pendanaan. BUMN tidak boleh terpaku pada pendanaan konvensional yang bersifat hutang, seperti hutang perbankan melainkan juga yang sifatnya quasi ekuitas, sehingga selain mendapatkan dana segar sekaligus dapat memperkuat struktur permodalan dan neraca BUMN.

Disamping itu, beberapa BUMN telah melantai di bursa efek menjadi perusahaan terbuka dan diantaranya melakukan penerbitan surat utang melalui pasar modal dalam bentuk instrumen Medium Term Notes (MTN), obligasi domestik, maupun global bonds. Sehingga BUMN-BUMN tersebut turut dituntut untuk menjaga kondisi keuangan, tidak hanya oleh Kementerian BUMN sebagai ultimate shareholder, namun juga oleh pemegang saham publik dan pemegang obligasi BUMN.

"Berbagai alternatif pendanaan telah dilakukan BUMN seperti diantaranya Komodo Bonds, Sekuritisasi Aset, Project Bonds, Perpetual Bonds, hingga Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT). Ke depannya masih akan dikembangkan berbagai inovasi-inovasi pendanaan lainnya seperti Kik Dinfra dan masih banyak lainnya," pungkasnya.kbc11

Bagikan artikel ini: