Jadi biang pelemahan rupiah, pemerintah akui belum mampu atasi defisit transaksi berjalan

Jum'at, 5 Oktober 2018 | 08:38 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Sejak terkena krisis 1997-1998, Indonesia sudah banyak melakukan reformasi keuangan baik fiskal maupun perbankan. Akan tetapi, masih ada satu hal yang sulit diatasi hingga sekarang, yaitu mengenai penanganan defisit transaksi berjalan. Padahal defisit transaksi berjalan membuat nilai tukar rupiah rentan terhadap pelemahan.

"Ada hal yang masih perlu pekerjaan rumah dari kita yaitu permasalahan CAD, ini permasalahan yang belum bisa kita selesaikan," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara di Gedung BI, Jakarta Pusat, Kamis (4/10/2018).

Untuk menambal defisit valas salah satunya yaitu dengan cara menyuntikkan dana asing atau lebih dikenal dengan istilah Penanaman Modal Asing (PMA) serta pinjaman atau utang luar negeri dan portfolio yang masuk.

Mirza mengungkapkan, transaksi berjalan Indonesia pernah mengalami surplus disokong oleh ekspor komoditas seperti sawit, batu bara dan timah.

"Nah pada periode 2000-2010, kita sempat mengalami current account surplus. Pada waktu itu kita tidak mempunyai problem CA defisit, tapi surplus, yaitu ekspor impor barangnya surplus karena harga kelapa sawit tinggi sekali, karena harga batubara tinggi sekali, karena harga timah tinggi sekali. Jadi karena semua harga komiditas tinggi sekali itu gara-gara China sebagai pembeli terbesar," ujarnya.

Namun, sejak 2011 hingga sekarang transaksi berjalan selalu mengalami defisit. "Tapi, sekarang sejak 2011 kita kembali mengalami promblem CAD, seperti problem yang kita alami dulu sebelum tahun 1998. Itulah yang membuat suplai valas di Indonesia selalu kurang. Selama ini, suplai valas itu ditutup dari PMA yang masuk, maka penting sekali kita harus PMA friendly," jelasnya.

Adapun PMA yang harus didorong adalah sektor yang berorientasi ekspor sehingga stok valas di dalam negeri selalu stabil. Kondisi tersebut tentunya akan membuat nilai tukar Rupiah selalu terjaga di pasar.

"PMA yang orientasinya harus ekspor, supaya bisa menutup defisit ekspor impor. Kita harus PMA friendly, tapi PMA yang terutama PMA orientasi ekspor," tutupnya. kbc10

Bagikan artikel ini: