Anomali Iklim Global, Ini Antisipasi Sektor Hortikultura

Kamis, 13 Juli 2023 | 19:17 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Fenomena anomali iklim global membuat pemerintah kini fokus terhadap pengembangan perubahan iklim, khususnya ancaman terhadap sektor pertanian.

Tidak hanya terkait pada aspek kebijakan,namun juga dari sisi edukasi yang melibatkan masyarakat khususnya para petani. Atas hal ini, Kementerian Pertanian (Kementan) telah menyiapkan berbagai strategi menghadapi dampak perubahan iklim berupa pengkajian terhadap upaya minimalisasi dampak negatif yang mengganggu budidaya pertanian termasuk hortikultura.

"Saya sangat mendukung kegiatan edukasi dan mendorong literasi yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya para petani dan POPT. Strategi ini tentunya perlu didukung kombinasi antara sains, teknologi dan kearifan lokal," ujar Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto dalam acara bedah buku: Upaya Menghadapi Perubahan Iklim bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kamis (14/7/2023).

Koordinator Dampak Perubahan Iklim Ditjen Hortikultura, Agung Sunusi. mengatakan, sub sektor pertanian menyumbang emisi GRK 6 persen terhadap emisi GRK nasional dari bersumber utama CO2 dari penggunaan lahan, kebakaran gambut, kotoran hewan, penggunaan pupuk dan sendawa kotoran hewan.

Menurutnya, kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer hingga 417 ppm menyebabkan kenaikan suhu global mencapai 0,74 C. Perubahan DPI ini berdampak pada cabai dan bawang merah.

Tantangannya terutama pada tanaman hortikultura yang sensitive pada ketersediaan pangan, perubahan pada respon tanamannya termasuk serangan OPT. Intinya, lanjut Agung, solusi penanggulangan dan antisipasi perubahan iklim adalah pembangunan budidaya ramah lingkungan. Grand strategi masa depan antara lain melakukan transisi energi ke sumber enegeri terbarukan hingga 23 persen pada 2030 dan 30% pada tahun 2045.

Kementan fokus terhadap penanganan dampak perubahan iklim ini. Langkah antisipasi antara lain penggunaan mulsa, diversifikasi pangan lokal, pengelolaan tanah berupa bahan organik konservasi tanah, pemupukan berimbang, pemanfaatan teknologi informasi iklim, teknologi pengelolaan air berupa penyiraman sprinkle dan irigasi tetes, pengelolaan air intermitten dan pemanfaatan embung.

"Poin terpenting adalah pengembangan hortikultura berbasis lingkungan. Langkah terdepan yang terus menerus dilakukan adalah pengukuran stok karbon, pengukuran emisi GRK ke depan tentunya mengedukasi penanaman ramah lingkungan bersama 3902 POPT yang tersebar di Indonesia," tuturnya.

Peneliti dari Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB Perdinan menyebut perubahan iklim menyentuh perbagai aspek. Sejauh ini diskusi dan rumusan terkait teknis dan kebijakan secara intensif dilakukan bersama 17 kementerian terkait.

Menurutnya, dinamika ekonomi dan lingkungan memiliki keterkaitan yang berdampak pada PDB. Untuk itu perlu rumusan bersama mengenai langkah pengendalian dari sisi kebijakan dan teknis di lapangan.

Target utama hingga 2050 adalah kita ingin mencapai resiliensi iklim pada ekonomi, sosial dan lingkungan dengan catatan tidak ada sektor yang tertinggal. "Selain itu kita menginginkan adapatsi perilaku dan teknologi, integritas data dan informasi, dan melindungi sumber daya alam di darat dan laut," kata Perdinan.

Lebih lanjut dia mengatakan, pangan menjadi salah satu prioritas dan diharapkan mendukung resiliensi sekurang-kurangya 1,72% GDP melalui transformasi ekonomi rendah karbon. "Sekaligus juga resiliensi dalam sistem pangan, air dan energi. Selain itu juga mewujudkan resiliensi sosial dan sumber penghidupan sebesar 0,32 persen PDB melalui peningkatan kapasitas dalam berbagai sistem kehidupan," terang dia.

Kepala Pusat Literasi dan Perpustakaan Pertanian Kementan Muchlis mengatakan, perubahan iklim sudah sangat sulit diprediksi karena adanya perubahan pada lapisan atmosfer. Ketersebarannya juga sudah menjadi hal yang harus diamati terus.

"Terkait perubahan ini akan kita bedah. Proses literasi harus tetap dilakukan untuk suplemen penghantar wawasan perubahan iklim," katanya.

Menurutnya, perubahan iklim harus disampaikan kepada masyaraka karena harus dilakukan secara sinergitas. Sepeti apa itu emisi gas rumah kaca (GRK), sehingga memudahkan proses edukasi dan ada efek berkelanjutannya agar dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dapat dilakukan bersama untuk mengedukasi semua komponen pertanian di Indonesia.

Direktor Repositori, Mulitimedia dan Penerbitan Ilmiah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ayom Widipaminto mengatakan, kolaborasi antara Kementan dan BRIN berkomitmen untuk mendokumentasikan isu-isu perubahan iklim bersama.

"Khususnya terkait isu - isu strategis terkait pertanian.Kami mengawal sebagai para penulis dan periset untuk dapat menerbitkan dengan buku-buku bertema pertanian.Ini adalah kesempatan agar semakin intens utuk melakukan penerbitan buku di sector pertanian karena terkait keberlangsungan hidup manusia," kata Ayom.

Tim IPCC Edvin Aldrian mengatakan, proses dan hasil perhitungan emisi GRK sub sektor peternakan dengan metode TIER 2 juga menjadi focus IPCC. IPCC adalah suatu organisasi antar pemerintah ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk memajukan pengetahuan tentang perubahan iklim akibat aktivitas manusia.

"Ternak seperti sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba, kuda, babi dan unggas tercatat sebagai penyumbang emisi GRK. Hal ini menjadi perhatian bersama sehingga ke depan Indonesia harus merujuk pada IPCC," pungkasnya.kbc11

Bagikan artikel ini: