Ombusman Diminta Investigasi Atas Investasi Starlink di Indonesia

Senin, 17 Juni 2024 | 08:40 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah mendorong Ombudsman Republik Indonesia melakukan investigasi terkait penerbitan izin Starlink di Indonesia.

Hal ini seiring terungkapnya nilai investasi Starlink di Indonesia hanya Rp 30 miliar dan merekrut tiga pegawai yang terdaftar. Berbeda dengan raksasa teknologi lainnya, seperti Apple dan Microsoft yang mencapai triliunan.

Menurutnya, modal Starlink untuk melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi layanan tertutup VSAT (Jartup VSAT) dan izin penyelenggara jasa internet (ISP) dinilai tak masuk akal. "Apa iya modal sebesar itu cukup untuk membangun usaha Jartup VSAT dan ISP? Padahal industri telekomunikasi memiliki karakteristik high capex dan high expenditure. Apakah masuk akal karyawan yang dibutuhkan hanya tiga orang saja? Menurut saya itu sangat tidak mungkin," ungkap Trubus dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Minggu(16/6/2024).

Disampaikan Trubus bahwa modal yang dikeluarkan penyelenggara jartup VSAT dan izin ISP seharusnya lebih dari Rp 30 miliar. Dengan dapat melayani seluruh pelanggan di seluruh Indonesia, maka Starlink semestinya membutuhkan minimal sembilan stasiun Bumi yang dijadikan hub.

Sebagai informasi, sebagai perbandingan minimal investasi untuk satu stasiun Bumi seperti yang dilakukan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Kominfo untuk Satria-1 bisa mencapai US$5 juta atau setara Rp 82,4 miliar.

Selain itu, setidaknya layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk itu juga membutuhkan lebih dari tiga Network Operation Center (NOC), dimana satu NOC membutuhkan minimal 15 orang tenaga kerja per hari (3 shift). Sedangkan, nilai investasi untuk sat NOC tak kurang dari US$1 juta atau sekitar Rp 16,4 miliar.

"Masa investasi Starlink kalah sama pengusaha ISP. Masa jumlah karyawan Starlink di Indonesia jauh di bawah ISP kecil yang ada di Indonesia. Sehingga kehadiran Starlink di Indonesia tidak ada manfaatnya sama sekali. Kalau hanya untuk menyediakan akses internet di daerah 3T, Kominfo juga sudah punya Satria-1," tutur Trubus.

Trubus menilai minimnya modal dan mudahnya izin yang diterima tanpa melihat kewajaran nilai investasi di perusahaan telekomunikasi membuktikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengabaikan prosedur (maladministrasi).

"Kuat sekali dugaan maladministrasi pada penerbitan izin penyelenggaraan telekomunikasi Starlink. Kesan terdapat tekanan politik luar biasa yang dialami Kominfo ketika penerbitan izin Starlink sangat terasa," tandasnya.

"Harusnya Ombusdman dan APH dapat melakukan investigasi mendalam pemberian izin Kominfo tersebut. Menurut saya ini tak wajar dan terkesan instant. Maladministrasi itu mengarah perilaku koruptif," pungkasnya. kbc11

Bagikan artikel ini: