Dua Persoalan Utama On Farm Yang Harus Diperbaiki Agar Swasembada Gula Konsumsi 2028 Tercapai

Rabu, 3 Juli 2024 | 16:12 WIB ET

Yogjakarta, kabarbisnis.com: Pemerintah telah mencanangkan swasembada gula konsumsi di tahu. 2028 dan swasembada gula nasional di tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut, harus ada perbaikan, tidak hanya dari sisi off farm dengan melakukan perbaikan pabrik, tetapi juga harus ada perbaikan dari sisi hulu atau on farm.

Direktur Utama Sinergi Gula Nusantara (SGN) Mahmudi menegaskan, ada dua persoalan utama di sisi hulu atau on farm yang harus diurai dan dilakukan perbaikan agar target swasembada gula konsumsi di tahun 2028 tercapai. Pertama adalah komposisi tanaman tebu di seluruh lahan, khususnya lahan tebu Petani. Karena lahan tebu Petani berkontribusi sekitar 60% dari total lahan yang ada.

Jika melihat luas lahan tebu yang mencapai 500 ribu hektar, ujar Mahmudi, maka komposisi tanaman tebu raton 3 keatas harusnya hanya sekitar 25%. Tetapi pada kenyataannya, tanaman tebu yang berusia 4 tahun hingga 10 tahun mencapai 86% sehingga produktivitas tebu menjadi sangat rendah. Sebab idealnya, proses "kepras" tanaman tebu hanya tiga kali, "kepras" pertama, kedua dan ketiga. Setelah itu, untuk mendapatkan produksi yang tinggi, harus dilakukan replanting, tanaman tebu harus dibongkar dan diganti dengan bibit baru yang diistilahkan "bongkaraton".

Persoalan kedua adalah penataan varietas, harus seimbang antara tebu masak awal, tengah dan akhir. "Varietas masak awal kita rendah sekali, posisinya sekarang hanya 7,5%, padahal standarnya mencapai 30%. Jika dua hal itu kita lakukan, maka untuk mendapatkan produktivitas tebu 8 ton per hektar itu bukan sesuatu yang tidak mungkin," terang Mahmudi saat FGD dengan tema "Penguatan Tebu Petani Rakyat" yang digelar di Fakultas Pertanian UGM, Yogjakarta, Selasa (2/7/2024).

Menurutnya, target swasembada gula konsumsi 2028 itu sebenarnya bukanlah hal yang sulit dicapai karena pada tahun 1991, produktivitas tebu di Indonesia pernah mencapai 15 ton per hektar dan di tahun 2012 sempat diangka 9 ton per hektar. "Untuk mencapai target swasembada gula konsumsi dengan luasan 500 ribu hektar, sebenarnya hanya cukup 8 ton per hektar karena kebutuhan gula konsumsi hanya diangka 3,5 juta ton per tahun. Nah, inilah yang menyebabkan intensifikasi harus segera dilakukan," tandasnya.

Dan kunci dari semua itu menurutnya adalah ekosistem tebu rakyat harus dibangun dan diperkuat. Sinergi antar kementerian dan lembaga harus dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi petani untuk mendapatkan bibit, pupuk hingga aksespendanaan.

"Kami selaku SGN dari PTPN group akan melakukan penguatan organisasi di tebu rakyat. Kami sudah hitung ada sekitar 200 orang yang akan kami dedikasikan untuk melakukan penguatan tebu rakyat. Juga bersama dengan kementerian koperasi, bagaimana kelompok tani yang ada serta koperasi juga menjadi bagian dari ekosistem tersebut untuk memberi kemudahan akses dana bagi petani," lanjutnya.

Saat ini akses dana yang telah disiapkan ada dua, pertama dari kementerian BUMN melalui program Pendanaan untuk Usaha Mikro Kecil (PUMK) dengan suku bunga 4-5% dan kedua adalah program KUR khusus klaster tebu dengan bunga 6%

"Kami sudah koordinasi dengan kementerian perekonomian dalam waktu dekat mendiskusikan ini agar ada KUR khusus klaster tebu. Ini tengah kami usahakan bersama sebagai bagian alternatif untuk pendanaan guna mempercepat program bongkaraton dan penataan varietas," kata Mahmudi.

Kemudian juga akan dibangun warung bibit didekat PG serta disiapkan ekosistem digitalnya. Sehingga nantinya, petani bisa langsung akses melalui handphone. Meraka bisa mengetahui berapa bibit yang tersedia dan dimana, kemudian akses perbankan seperti apa yang difasilitasi SGN. "Juga ada berapa vitur tentang bimbingan teknis yang dibutuhkan kelompok tani dan koperasi. Ini kita kuatkan dan kami yakin 2028 kalau 8 ton per hektar ini bukan sesuatu yang sulit, bukan sesuatu yang mustahil," tandasnya kembali.

Pada kesempatan yang sama, Asisten Deputi Pembaharuan dan Kemitraan Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM, Bagus Rahman menyatakan komitmen Kementerian Koperasi untuk memperkuat kelembagaan petani.

"Yang masih Gapoktan, diharapkan nanti punya badan hukum sehingga ada akses pembiayaan. Diharapkan ekosistem ini bisa saling mendukung kepentingan petani mulai dari pembibitan, budidayanya. serta pembiayaannya dari KUR," ujar Bagus Rahman.

Asisten Deputi Industri Perkebunan dan Kehutanan Kementerian BUMN, Faturohman juga menyatakan komitmennya menjadi offtaker hasil produksi tebu dan dalam memberikan kemudahan akses pembiayaan melalui program PUMK.

"Bahwa bank akan memberikan KUR apabila ada kepastian pasar. Nah, dari BUMN siap menyerap hasil tebu untuk diolah sebagai nilai tambah. Dari sisi kebijakan, BUMN juga akan perkuat dari sisi pendanaan, utamanya permodalan di SGN melalui berbagai opsi untuk meningkatkan kapasitas pendanaan. Saat ini, kami tengah mencari investor, ada beberapa calon potensial investor yang akan bekerjasama dengan SGN untuk menyupport dari sisi off farm maupun on farm. Beberapa dari investor luar negeri yang menjadi kerjasama tersebut," terangnya.

Setelah itu juga ada program makmur, ini adalah ekosistem baru dari sektor bangan dengan melibatkan beberapa BUMN yang ikut dalam program tersebut. Mulai dari pengadaan pupuk, bibit, Himbara, hingga Kementerian Koperasi, asuransi juga dari sisi off taker. "Kami sudah bentuk dari sisi off taker dari RNI, PPI, berdikari untuk menjadi off taker dari gula yang dapat hasilkan petani," katanya.

Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian, Andi Nur Alamsyah juga mengakui bahwa tebu petani mayoritas kondisi tanamannya merupakan tanaman keprasan yang lebih dari empat tahun. Sehingga perlu upaya perbaikan tata kelola tebu rakyat mulai dari hulu hingga hilir, baik dalam pengelolaan benih, pupuk, pengairan, pemeliharaan, mekanisasi, pengendalian serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) hingga pengelolaan panen dan pasca panen.

"Upaya lainnya dalam memperbaiki tata kelola tebu rakyat yang tidak kalah penting adalah dalam penyediaan permodalan, diperlukan model permodalan yang paling tepat, sehingga kemudahan dan keamanan pemodal untuk usaha tani tebu diperlukan penyesuaian," kata Andi.

Ia mengungkapkan, model kredit permodalan yang menjadikan pabrik gula sebagai avalis merupakan salah satu model penyediaan modal yang dahulu cukup efektif. "Selain itu, penguatan kelembagaan petani agar petani lebih berdaya saing dan memiliki kekuatan tawar kepada PG maupun pedagang gula, serta yang tidak kalah pentingnya adalah perbaikan pola kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu," terangmya.

Hadir juga dalam kesempatan FGD, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) DPP Pusat, Fathudin Rosidi, serta Ketua APTRI, Sunardi Eddy Sukamto. Keduanya mengaku bahwa untuk melakukan replanting atau bongkaraton menang dibutuhkan biaya yang cukup mahal, mencapai sekitar Rp 58 juta per hektar. Sehingga akses pembiayaan menjadi hal utama dalam program ini

“Karena selain benih dan pupuk, biaya petani juga besar, terutama untuk replanting atau peremajaan tanaman. Sehingga, dengan bantuan dari pemerintah ini, petani bisa lebih semangat lagi dalam menanam tebu dan menghasilkan tebu yang baik sesuai dengan kebutuhan pabrik gula,” pungkas Fathudin.kbc6

 

Bagikan artikel ini: