Pengusaha Ritel Minta Rencana Kenaikan Tarif PPN Jadi 12% Ditunda

Rabu, 27 Maret 2024 | 09:00 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Dua asosiasi ritel di Indonesia, Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) dan Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) kompak menyuarakan keberatan atas keputusan pemerintah menaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.

Ketua Hippindo, Budihardjo Iduansjah mengatakan, pihaknya berharap pemerintah menunda kebijakan tersebut. Sebab kenaikan PPN akan otomatis berdampak pada kenaikan harga dan membuat daya beli masyarakat menurun.

"Harapan kami sih bisa ditunda dulu (kenaikan PPN) sambil diperbaiki daya saing. Mungkin misalnya naik disitu (PPN) tapi benar inflasinya bisa dijaga. Jadi kantong kiri kanan lah artinya bisa juga mengurangi biaya-biaya lainnya. Jadi sementara ditunda dulu ya kalau bisa sampai bisa disosialisasikan dan didiskusikan lagi lebih lanjut," tandas Budihardjo seperti dikutip, Rabu (27/3/2024).

Dampak utama dari kenaikan PPN ungkapnya adalah daya beli masyarakat yang dikhawatirkan makin turun yang tentunya akan berdampak pada perkembangan industri ritel dalam negeri.

"Kita paling takutnya di daya beli, jadi orang menahan beli atau mengurangi pengeluarannya. Yang berat kalau terjadi inflasi, takutnya (dampaknya) kesana," tambahnya.

Saat ditanya apakah kenaikan PPN juga akan berpengaruh pada langkah pengusaha melakukan ekspansi dalam bentuk menambah gerai di mal-mal.

Budi mengatakan pada dasarnya untuk menambah gerai, pengusaha sudah melakukan survei jauh-jauh hari dan kontrak dengan pengelola mall juga dilakukan dalam kurun waktu tertentu.

"Kalau kami sudah mencari lokasi itu sistemnya bukan mendadak, jadi kalau nanti dinaikkan karena efek PPN, ya nggak mungkin kita langsung seketika nggak sewa atau batal sewa sepihak. Karena pengusaha sudah punya deal-dealan yang sudah berjalan," ungkapnya.

Di sisi lain, Hippindo ungkap Budi juga telah menawarkan alternatif lain dari sekedar kenaikan PPN.

"Kami sebenarnya mengajukan sistem multi tarif, artinya jangan semuanya dihantam sama 12%. Ada yang mungkin di bawah 10, ada yang 11% atau ada yang 12%. Dan menurut kami kalau multi tarif mungkin lebih lebih pas ya, tapi mungkin agak sulit ya dalam pelaksanaannya," jelas Budi.

Penolakan juga disuarakan Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja bahkan mengatakan pihaknya berharap pemerintah membatalkan ataupun menunda kenaikan tarif PPN dikarenakan beberapa alasan.

"Yang pertama, kenaikan tarif PPN akan mengakibatkan kenaikan harga produk atau barang yang mana akan memberatkan masyarakat terutama untuk kelas menengah bawah," ungkapnya.

Dia menambahkan, alasan kedua karena saat ini tarif PPN yang berlaku adalah termasuk kategori tidak rendah jika dibandingkan dengan tarif yang berlaku di beberapa negara tetangga sehingga sebenarnya tidak ada alasan mendesak untuk menaikkannya.

"Jika pemerintah perlu menaikkan penerimaan dan pendapatan negara maka sebaiknya meningkatkan pertumbuhan usaha secara maksimal terlebih dahulu karena saat ini masih banyak potensi pertumbuhan yang masih belum diupayakan secara maksimal. Kenaikan tarif bisa dilakukan setelah pertumbuhan usaha mencapai tingkat yang optimal," ujarnya.

Sebelumnya, pada awal Maret 2024, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kenaikan PPN akan terlaksana selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025.

Airlangga mengatakan, ketentuan tersebut diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan akan dilanjutkan pemerintahan selanjutnya. "Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan," katanya. kbc10

Bagikan artikel ini: