PHK Tak Terkendali, Target Pertumbuhan Ekonomi Bisa Meleset

Kamis, 4 Juli 2024 | 08:47 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah diminta lebih serius dalam menangani dan mengendalikan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor industri. Pasalnya, dapat berdampak pada bertambahnya jumlah pengangguran yang berujung pada meningkatnya angka kemiskinan di Tanah Air.

"Kalau angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin bertambah, tentunya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi," kata Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah seperti dikutip, Kamis (4/7/2024).

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Februari 2024 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,2 juta orang. Sedangkan tingkat pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2024 mencapai 4,82%.

Jumlah tersebut menurun sekitar 790.000 orang dari periode yang sama tahun sebelumnya dengan TPT 5,45%. Kendati demikian, angka tersebut masih dinilai tinggi, apalagi kalau dilihat angka setengah menganggur jumlahnya sebanyak 12,11 juta orang.

Trubus menjelaskan, PHK tentunya menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran. Adapun korelasinya bisa berpotensi menambah angka kemiskinan lantaran daya beli masyarakat yang menurun, sedangkan biaya kebutuhan meningkat.

Pada akhirnya, juga akan berpengaruh pada pertumnuhan ekonomi. Dengan kondisi sektor industri yang demikian, maka terget pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintahan baru sebesar 7% bakal semakin berat ketika angka pengangguran dan kemiskinan berdanbah.

"Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 5% saja sudah berdarah-darah karena memang kondisi ekonomi global juga tak membaik," ungkap Trubus.

Maraknya PHK di sektor industri juga berdampak negatif terhadap minat dan iklim investasi di Indonesia, terutama di sektor manufaktur. Untuk itu, pemerintah harus memperkuat kapasitas UMKN, selain menjaga kelangsungan usaha di industri padat karya dan manufaktur demi memperluas serapan tenaga kerja. 

"Dengan kondisi masyarakat yang mmebutuhkan lapangan kerja, maka fokus pemerintah adalah membuka investasi atau lapangan kerja di manufaktur bukan di sektor padat modal yang serapan tenaga kerjanya rendah," jelasnya.

Selain itu, Trubus bilang, pemerintah harus memberikan proteksi bagi industri dalam negeri terhadap gempuran produk impor. Studi kasus keramik impor asal China yang sangat murah telah memukul industri keramik dalam negeri, sehingga kapasitas produksi anjlok.

"Pemerintah harus mengenakan antidumping dan pajak bea masuk sangat tinggi untuk produk keramik asal China untuk memproteksi industri dalam negeri," tandasnya. kbc10

Bagikan artikel ini: