Pemerintah Akhirnya Mulai Bayar Utang Rafaksi Minyak Goreng

Kamis, 20 Juni 2024 | 08:48 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah mulai membayarkan utang selisih harga/ rafaksi ke produsen minyak goreng sebesar Rp 474 miliar.

Adapun mekanisme pembayaran disalurkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) kepada produsen minyak goreng.Setelah itu disalurkan kepada peritel.

Namun, jumlah utang yang telah dibayarkan belum dipastikan besarannya mengingat proses masih berlangsung. "Sebagian sudah (dibayar). Ini prosesnya sudah bergulir di BPDPKS," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Isy Karim di Jakarta, Rabu (19/6/2024).

Dia mengatakan, berdasarkan hasil verifikasi PT Sucofindo selaku surveyor total utang yang harus dibayar ke pelaku usaha minyak goreng sebesar Rp 474 miliar. "Ini masih memilah-milah dari total itu perusahaan A dapat berapa perusahaan B dapat berapa. Nanti produsen dulu baru ke peritel," imbuhnya.

Permasalahan ini muncul ketika pemerintah mengintervensi pasar dengan mewajibkan seluruh ritel modern anggota Aprindo untuk menjual minyak goreng seharga Rp14 ribu per liter pada 2022 lalu.

Ini tertuang dalam Permendag Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Kebingungan terjadi ketika Permendag Nomor 3 Tahun 2022 yang seharusnya berlaku sampai enam bulan malah diganti Permendag Nomor 6 Tahun 2022, hanya sebulan setelah dirilis. Pada akhirnya, Permendag Nomor 3 Tahun 2022 yang mengatur soal uang rafaksi itu tak berlaku lagi.

Pada kesempatan berbeda, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey meminta agar pemerintah memberikan transparansi data, yang selama ini mereka belum dapatkan hitungan pasti secara tertulis, berapa sih yang akan dibayarkan oleh pemerintah kepada peritel.

"Jadi Aprindo itu sampai hari ini belum mendapatkan transparansi hasil verifikasi yang akan dibayar ke ritel. Kita hanya mendengar dari media, bahwa akan dibayarkan lebih kurang produsen 40%, peritel juga 40% dari total perhitungan yang disetor kan ke BPDPKS," kata dia.

Transparansi data, kata Roy, diperlukan Aprindo, agar peritel dapat mempertanggungjawabkannya kepada para stakeholder atau pemegang saham perusahaan mereka.

"Bisa dibayangkan kalau kita tidak memiliki data hasil dari verifikasi, maka kita mempertanggungjawabkan ke investor jadi kesulitan. (Karena itu) kami memohon dan meminta transparansi data," pungkasnya. kbc11

Bagikan artikel ini: